BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Thalasemia merupakan penyakit yang diturunkan. Pada penderita
thalasemia, hemoglobin mengalami penghancuran (hemolisis). Penghancuran terjadi
karena adanya gangguan sintesis rantai hemoglobin atau rantai globin. Pada penderita thalasemia kelainan genetik terdapat
pada pembentukan rantai globin yang salah sehingga eritrosit lebih cepat lisis.
Upaya pengobatan Thalasemia bisa menggunakan donor susmsum tulang belakang dan
transfusi darah yang rutin. Selain itu juga dibutuhkan agent pengikat
besi (Iron Chelating Agent) yang
harganya cukup mahal untuk membuang kelebihan besi dalam tubuh. Jika tindakan
ini tidak dilakukan maka besi akan menumpuk pada berbagai jaringan dan organ
vital seperti jantung, otak, hati dan ginjal yang merupakan komplikasi kematian
dini.
Sementara itu di Indonesia jumlah
penderita Thalasemia hingga tahun 2009 naik menjadi 8, 3 persen dari 3.653
penderita yang tercatat pada tahun 2006. Hampir 90% para penderita penyakit
genetik sintesis Hemoglobin (Hb) ini berasal dari kalangan masyarakat miskin Kejadian thalasemia sampai saat ini tidak bisa
terkontrol terkait faktor genetik sebagai batu sandungan dan belum maksimalnya
tindakan screening untuk thalasemia khususnya di Indonesia. (Modell b & Darlison m. 2008)
B. Rumusan
Masalah
Bagaimana konsep teori dan asuhan
keperawatan dari kasus Thalasemia?
C. Tujuan
Penulisan
1. Tujuan
umum
Untuk
mengetahui konsep teori dan asuhan keperawatan tentang thalasemia
2. Tujuan
khusus
Untuk
mengetahui asuhan keperawatan tentang thalasemia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Thalasemia
Thalasemia
adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh kegagalan pembentukan
salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin, sehingga
hemoglobin tidak terbentuk sempurna. Tubuh tidak dapat membentuk sel darah
merah yang normal, sehingga sel darah merah mudah rusak atau berumur pendek
kurang dari 120 hari dan terjadilah anemia (Suriadi dan Rita Yuliani, 2010 p 28).
Thalasemia adalah kelainan kongenital,
anomali pada eritropoeisis yang diturunkan dimana hemoglobin dalam eritrosit
sangat berkuarang, oleh karenanya akan terbentuk eritrosit yang relatif
mempunyai fungsi yangsedikit berkurang (Hassan
dan Alatas,
2002 p 79).
B.
Klasifikasi Thalasemia
Thalasemia diklasifikasikan berdasarkan molekuler menjadi dua
yaitu thalasemia alfa dan thalasemia beta (Herdata, 2008 p 97).
1.
Thalasemia Alfa
Thalasemia
ini disebabkan oleh mutasi salah satu atau seluruh globin rantai alfa yang ada.
Thalasemia alfa terdiri dari :
a.
Silent Carrier State
Gangguan
pada 1 rantai globin alfa. Keadaan ini tidak timbul gejala sama sekali atau
sedikit kelainan berupa sel darah merah yang tampak lebih pucat.
b.
Alfa Thalasemia Trait
Gangguan
pada 2 rantai globin alpha. Penderita mengalami anemia ringan dengan sel darah
merah hipokrom dan mikrositer, dapat menjadi carrier.
c. Hb H Disease
Gangguan pada 3 rantai globin alfa. Penderita dapat
bervariasi mulai tidak ada gejala sama sekali, hingga anemia yang berat yang
disertai dengan perbesaran limpa.
d. Alfa Thalassemia Mayor
Gangguan pada 4 rantai globin alpha. Thalasemia tipe
ini merupakan kondisi yang paling berbahaya pada thalassemia tipe alfa. Kondisi
ini tidak terdapat rantai globin yang dibentuk sehingga tidak ada HbA atau HbF
yang diproduksi. Janin yang menderita alpha thalasemia mayor pada awal
kehamilan akan mengalami anemia, membengkak karena kelebihan cairan, perbesaran
hati dan limpa. Janin ini biasanya mengalami keguguran atau meninggal tidak
lama setelah dilahirkan.
2. Thalasemia Beta
Thalasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu
atau dua rantai globin beta yang ada. Thalasemia beta terdiri dari :
a. Beta Thalasemia Trait
Thalasemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu
gen yang bermutasi. Penderita mengalami anemia ringan yang ditandai dengan sel
darah merah yang mengecil (mikrositer).
b. Thalasemia Intermedia
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih
bisa produksi sedikit rantai beta globin. Penderita mengalami anemia yang
derajatnya tergantung dari derajat mutasi gen yang terjadi.
c. Thalasemia Mayor
Kondisi ini kedua gen
mengalami mutasi sehingga tidak dapat memproduksi rantai beta globin. Gejala
muncul pada bayi ketika berumur 3 bulan berupa anemia yang berat. Penderita
thalasemia mayor tidak dapat membentuk hemoglobin yang cukup sehingga hampir
tidak ada oksigen yang dapat disalurkan ke seluruh tubuh, yang lama kelamaan
akan menyebabkan kekurangan O2, gagal jantung kongestif, maupun kematian.
Penderita thalasemia mayor memerlukan transfusi darah yang rutin dan perawatan
medis demi kelangsungan hidupnya.
C.
Etiologi
Thalassemia bukan penyakit menular melainkan penyakit yang diturunkan
secara genetik dan resesif. Penyakit ini diturunkan melalui gen yang disebut
sebagai gen globin beta yang terletak pada kromosom 11. Pada manusia kromosom
selalu ditemukan berpasangan. Gen globin beta ini yang mengatur pembentukan salah
satu komponen pembentuk hemoglobin. Bila hanya sebelah gen globin beta yang
mengalami kelainan disebut pembawa sifat thalassemia-beta. Seorang pembawa
sifat thalassemia tampak normal/sehat, sebab masih mempunyai 1 belah gen dalam
keadaan normal (dapat berfungsi dengan baik). Seorang pembawa sifat thalassemia
jarang memerlukan pengobatan. Bila kelainan gen globin terjadi pada kedua
kromosom, dinamakan penderita thalassemia (Homozigot/Mayor). Kedua belah gen
yang sakit tersebut berasal dari kedua orang tua yang masing-masing membawa
sifat thalassemia (Suriadi, 2001 p 110).
gambar 3.1 Skema Penurunan Gen Thalasemia Mendel
D. Patofisiologi
Kelebihan pada rantai
alpha ditemukan pada beta thalasemia dan kelebihan rantai beta dan gama
ditemukan pada alpha thalasemia. Kelebihan rantai polipeptida ini mengalami
presippitasi dalam sel eritrosit. Globin intra eritrosik yang mengalami
presipitasi, yang terjadi sebagai rantai polipeptida alpa dan beta, atau
terdiri dari hemoglobin tak stabil-badan Heinz, merusak sampul eritrosit dan
menyebabkan hemolisis. Reduksi dalam hemoglobin menstimulasi bone marrow
memproduksi RBC yang lebih. Dalam stimulasi yang konstan pada bone marrow,
produksi RBC secara terus-menerus pada suatu dasar kronik, dan dengan cepatnya
destruksi RBC, menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan
produksi dan destruksi RBC, menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi hemoglobin.
Kelebihan produksi dan destruksi RBC menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan
mudah pecah atau rapuh (Suriadi dan Rita Yuliani, 2010 p 28).
Penyebab anemia pada
talasemia bersifat primer dan sekunder. Penyebab primer adalah berkurangnya
sintesis Hb A dan eritropoesis yang tidak efektif disertai penghancuran sel-sel
eritrosit intrameduler. Penyebab sekunder adalah karena defisiensi asam
folat,bertambahnya volume plasma intravaskuler yang mengakibatkan hemodilusi,
dan destruksi eritrosit oleh system retikuloendotelial dalam limfa dan hati.
Penelitian biomolekular menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga
produksi rantai alfa atau beta dari hemoglobin berkurang. Tejadinya
hemosiderosis merupakan hasil kombinasi antara transfusi berulang,peningkatan
absorpsi besi dalam usus karena eritropoesis yang tidak efektif, anemia kronis serta
proses hemolisis (Herdata
N.H, 2008 p 105).
Gambar 4.1 pathway thalasemia
E. Gejala
Penderita thalasemia memiliki gejala yang bervariasi tergantung
jenis rantai asam amino yang hilang dan jumlah kehilangannya. Penderita
sebagian besar mengalami anemia yang ringan khususnya anemia hemolitik.
Keadaan yang berat pada
beta-thalasemia mayor akan mengalami anemia karena kegagalan pembentukan sel
darah, penderita tampak pucat karena kekurangan hemoglobin. Perut terlihat
buncit karena hepatomegali dan splenomegali sebagai akibat terjadinya
penumpukan Fe, kulit kehitaman akibat dari meningkatnya produksi Fe, juga
terjadi ikterus karena produksi bilirubin meningkat. Gagal jantung disebabkan
penumpukan Fe di otot jantung, deformitas tulang muka, retrakdasi pertumbuhan,
penuaan dini (Herdata.N.H, 2008 p 110).
Secara umum gejala
thalasemia yaitu lethargi, pucat, kelemahan, anoreksia, sesak napas, tebalnya
tulang kranial, pembesaran limpa, menipisnya tulang kartilago (Suriadi dan Rita
Yuliani, 2010 p 29).
F.
Komplikasi
Akibat anemia yang berat dan lama, sering
terjadi gagal jantung. Tranfusi darah yang berulang ulang dan proses hemolisis
menyebabkan kadar besi dalam darah sangat tinggi, sehingga di timbun dalam
berbagai jarigan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan lain lain. Hal
ini menyebabkan gangguan fungsi alat tersebut (hemokromatosis). Limpa yang
besar mudah ruptur akibat trauma ringan. Kadang kadang thalasemia disertai
tanda hiperspleenisme seperti leukopenia dan trompositopenia. Kematian terutama
disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung (Suriadi
dan Rita Yuliani, 2010 p 29).
Hepatitis pasca transfusi biasa dijumpai,
apalagi bila darah transfusi telah diperiksa terlebih dahulu terhadap HBsAg.
Hemosiderosis mengakibatkan sirosis hepatis, diabetes melitus dan jantung.
Pigmentasi kulit meningkat apabila ada hemosiderosis, karena peningkatan
deposisi melanin (Herdata, 2008 p 120).
G. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis untuk
Thalassemia terdapat dua yaitu secara screening test dan definitive
test (Hassan
dan Alatas , 2002 p 104).
1. Screening test
Di daerah endemik, anemia hipokrom
mikrositik perlu diragui sebagai gangguan Thalassemia.
a.
Interpretasi apusan darah
Dengan apusan darah anemia mikrositik
sering dapat dideteksi pada kebanyakkan Thalassemia kecuali Thalassemia α silent
carrier. Pemeriksaan apusan darah rutin dapat membawa kepada diagnosis
Thalassemia tetapi kurang berguna untuk skrining.
b.
Pemeriksaan osmotic fragility (OF)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan
fragiliti eritrosit. Secara dasarnya resistan eritrosit untuk lisis bila
konsentrasi natrium klorida dikurangi. Studi OF berkaitan kegunaan sebagai alat
diagnostik telah dilakukan dan berdasarkan satu penelitian di Thailand,
sensitivitinya adalah 91.47%, spesifikasi 81.60, false positive rate 18.40%
dan false negative rate 8.53% .
c.
Indeks eritrosit
Dengan bantuan alat indeks sel darah merah
dapat mendeteksi mikrositik dan hipokrom serta kurang memberi nilai diagnostik.
d.
Model matematika
Membedakan anemia defisiensi besi dari
Thalassemia β berdasarkan parameter jumlah eritrosit digunakan. Beberapa rumus
telah dipropose seperti 0.01 x MCH x (MCV)², RDW x MCH x (MCV) ²/Hb x 100,
MCV/RBC dan MCH/RBC tetapi kebanyakkannya digunakan untuk membedakan anemia
defisiensi besi dengan Thalassemia β .
2. Definitive test
a. Elektroforesis
hemoglobin
Pemeriksaan ini dapat menentukan berbagai
jenis tipe hemoglobin di dalam darah. Pada dewasa konstitusi normal hemoglobin
adalah Hb A1 95-98%, Hb A2 2-3%, Hb F 0.8-2% (anak di bawah 6 bulan kadar ini
tinggi sedangkan neonatus bisa mencapai 80%). Nilai abnormal bisa digunakan
untuk diagnosis Thalassemia seperti pada Thalassemia minor Hb A2 4-5.8% atau Hb
F 2-5%, Thalassemia Hb H: Hb A2 <2% dan Thalassemia mayor Hb F 10-90%. Pada
negara tropikal membangun, elektroporesis bisa juga mendeteksi Hb C, Hb S dan
Hb J
b. Kromatografi hemoglobin
Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah baik dengan Hb
Pemeriksaan menggunakan high performance liquid chromatography (HPLC)
pula membolehkan penghitungan aktual Hb A2 meskipun terdapat kehadiran Hb C
atau Hb E. Metode ini berguna untuk diagnosa Thalassemia β karena ia bisa
mengidentifikasi hemoglobin dan variannya serta menghitung konsentrasi dengan
tepat terutama Hb F dan Hb A2.
c. Molecular diagnosis
Pemeriksaan ini adalah gold
standard dalam mendiagnosis Thalassemia. Molecular
diagnosis bukan saja dapat menentukan tipe Thalassemia malah dapat
juga menentukan mutasi yang berlaku.
H. Penatalaksanaan
1.
Penatalaksanaan Medis
Menurut (Ngastiyah, 2005
p 134) Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain :
a. Pemberian transfusi
hingga Hb mencapai 9-10g/dl. Komplikasi dari pemberian transfusi darah yang
berlebihan akan menyebabkan terjadinya penumpukan zat besi yang disebut
hemosiderosis. Hemosiderosis ini dapat dicegah dengan pemberian deferoxamine
(Desferal), yang berfungsi untuk mengeluarkan besi dari dalam tubuh (iron
chelating agent). Deferoxamine diberikan secar intravena, namun untuk
mencegah hospitalisasi yang lama dapat juga diberikan secara subkutan
dalam waktu lebih dari 12 jam.
b. Splenectomy : dilakukan untuk mengurangi penekanan
pada abdomen dan meningkatkan rentang hidup sel darah merah yang berasal dari
suplemen (transfusi).
c. Pada thalasemia yang
berat diperlukan transfusi darah rutin dan pemberian tambahan asam folat.
Penderita yang menjalani transfusi, harus menghindari tambahan zat besi dan
obat-obat yang bersifat oksidatif (misalnya sulfonamid), karena zat besi yang
berlebihan bisa menyebabkan
keracunan. Pada bentuk yang sangat
berat, mungkin diperlukan pencangkokan sumsum tulang. Terapi genetik masih
dalam tahap penelitian.
d. Transplantasi sumsum
tulang telah memberi harapan baru bagi penderita thalasemia dengan lebih dari
seribu penderita thalasemia mayor berhasil tersembuhkan dengan tanpa
ditemukannya akumulasi besi dan hepatosplenomegali. Keberhasilannya lebih
berarti pada anak usia dibawah 15 tahun. Seluruh anak anak yang memiliki
HLA-spesifik dan cocok dengan saudara kandungnya di anjurkan untuk melakukan
transplantasi ini.
2.
Penatalaksanaan Keperawatan
Pada dasarnya perawatan pasien thalasemia
sama dengan pasien anemia lainnya, yaitu memerlukan perawatan tersendiri dan
perhatian lebih. Masalah pasien yang perlu diperhatikan adalah kebutuhan
nutrisi (pasien menderita anoreksia), resiko terjadi komplikasi akibat
transfusi yang berlangsung berulang-ulang gangguan rasa aman, dan kurangnya
pengetahuan orang tua mengenai penyakit (Ngastiyah, 2005 p 139).
I.
Konsep Asuhan
Keperawatandari Thalasemia
1.
Pengkajian
a.
Asal keturunan/kewarganegaraan
Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa disekitar laut tengah (mediterania).
Seperti turki, yunani, Cyprus, dll. Di Indonesia sendiri, thalassemia cukup
banyak dijumpai pada anak, bahkan merupakan penyakit darah yang paling banyak
diderita.
b.
Umur
Pada thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala tersebut telah
terlihat sejak anak berumur kurang dari 1 tahun. Sedangkan pada thalasemia
minor yang gejalanya lebih ringan, biasanya anak baru datang berobat pada umur
sekitar 4 – 6 tahun.
c.
Riwayat kesehatan anak
Anak cenderung mudah terkena infeksi saluran napas bagian atas infeksi
lainnya. Hal ini mudah dimengerti karena rendahnya Hb yang berfungsi sebagai
alat transport.
d.
Pertumbuhan dan perkembangan
Sering didapatkan data mengenai adanya kecenderungan gangguan terhadap
tumbuh kembang sejak anak masih bayi, karena adanya pengaruh hipoksia jaringan
yang bersifat kronik. Hal ini terjadi terutama untuk thalassemia mayor.
Pertumbuhan fisik anak adalah kecil untuk umurnya dan ada keterlambatan dalam
kematangan seksual, seperti tidak ada pertumbuhan rambut pubis dan ketiak.
Kecerdasan anak juga dapat mengalami penurunan. Namun pada jenis thalasemia
minor sering terlihat pertumbuhan dan perkembangan anak normal.
e.
Pola makan
Karena adanya anoreksia, anak sering mengalami susah makan, sehingga berat
badan anak sangat rendah dan tidak sesuai dengan usianya.
f.
Pola aktivitas
Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak usianya. Anak banyak tidur /
istirahat, karena bila beraktivitas seperti anak normal mudah merasa lelah.
g.
Riwayat kesehatan keluarga
Karena merupakan penyakit keturunan, maka perlu dikaji apakah orang tua
yang menderita thalassemia. Apabila kedua orang tua menderita thalassemia, maka
anaknya berisiko menderita thalassemia mayor. Oleh karena itu, konseling
pranikah sebenarnya perlu dilakukan karena berfungsi untuk mengetahui adanya
penyakit yang mungkin disebabkan karena keturunan.
h.
Riwayat ibu saat hamil (Ante Natal Core – ANC)
Selama Masa Kehamilan, hendaknya perlu dikaji secara mendalam adanya faktor
risiko thalassemia. Sering orang tua merasa bahwa dirinya sehat. Apabila diduga
faktor resiko, maka ibu perlu diberitahukan mengenai risiko yang mungkin
dialami oleh anaknya nanti setelah lahir. Untuk memestikan diagnosis, maka ibu
segera dirujuk ke dokter.
i.
Data keadaan fisik anak thalassemia yang
sering didapatkan diantaranya adalah:
1)
Keadaan umum
Anak biasanya terlihat
lemah dan kurang bergairah serta tidak selincah aanak seusianya yang normal.
2)
Kepala dan bentuk muka
Anak yang belum/tidak
mendapatkan pengobatan mempunyai bentuk khas, yaitu kepala membesar dan bentuk
mukanya adalah mongoloid, yaitu hidung pesek tanpa pangkal hidung, jarak kedua
mata lebar, dan tulang dahi terlihat lebar.
3)
Mata dan konjungtiva terlihat pucat
kekuningan
4)
Mulut dan bibir terlihat pucat kehitaman
5)
Dada
Pada inspeksi terlihat
bahwa dada sebelah kiri menonjol akibat adanya pembesaran jantung yang
disebabkan oleh anemia kronik.
6)
Perut
Kelihatan membuncit dan
pada perabaan terdapat pembesaran limpa dan hati ( hepatosplemagali).
7)
Pertumbuhan fisiknya terlalu kecil untuk
umurnya dan BB nya kurang dari normal. Ukuran fisik anak terlihat lebih kecil
bila dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya.
8)
Pertumbuhan organ seks sekunder untuk anak
pada usia pubertas
Ada keterlambatan kematangan seksual, misalnya, tidak adanya pertumbuhan rambut
pada ketiak, pubis, atau kumis. Bahkan mungkin anak tidak dapat mencapai tahap
adolesense karena adanya anemia kronik.
9)
Kulit
Warna kulit pucat kekuning- kuningan. Jika anak telah sering mendapat transfusi
darah, maka warna kulit menjadi kelabu seperti besi akibat adanya penimbunan
zat besi dalam jaringan kulit (hemosiderosis).
2.
Diagnosa
Keperawatan
a.
Ketidakefektifan perfusi jaringan
berhubungan dengan berkurangnya komponen seluler yang menghantarkan
oksigen/nutrisi
b.
Intoleransi aktifitas berhubungan dengan tidak
seimbangnya kebutuhan dan suplai oksigen
c.
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
d.
Kecemasan (orang tua) berhubungan dengan
kurang pengetahuan
3.
Rencana Keperawatan
No |
DIAGNOSA |
RENCANA KEPERAWATAN |
|
TUJUAN |
INTERVENSI |
||
1. |
Ketidakefektifan
perfusi jaringan b.d berkurangnya komponen seluler yang menghantarkan
oksigen/nutrisi |
NOC · Perfusi Jaringan : Perifer · Status sirkulasi Kriteria Hasil: · Klien menunjukkan perfusi jaringan yang adekuat yang ditunjukkan dengan
terabanya nadi perifer, kulit kering dan hangat, keluaran urin adekuat, dan
tidak ada distres pernafasan. |
NNIC 1. Monitor Tanda Vital Definisi: Mengumpulkan dan
menganalisis sistem kardiovaskuler, pernafasan dan suhu untuk
menentukan dan mencegah komplikasi Aktifitas: 1. Monitor tekanan darah
, nadi, suhu dan RR tiap 6 jam atau sesuai indikasi 2. Monitor frekuensi dan
irama pernapasan 3. Monitor pola
pernapasan abnormal 4. Monitor suhu, warna
dan kelembaban kulit 5. Monitor sianosis
perifer 2. Monitor status neurologi Definisi: Mengumpulkan dan
menganalisis data pasien untuk meminimalkan dan mencegah komplikasi neurologi Aktifitas: 1. Monitor ukuran,
bentuk, simetrifitas, dan reaktifitas pupil 2. Monitor tingkat
kesadaran klien 3. Monitor tingkat
orientasi 4. Monitor GCS 5. Monitor respon pasien
terhadap pengobatan 6. Informasikan pada
dokter tentang perubahan kondisi pasien 3. Manajemen cairan Definisi:
Mempertahankan keseimbangan cairan dan mencegah komplikasi akibat kadar
cairan yang abnormal. Aktifitas: 1. Mencatat intake dan
output cairan 2. Kaji adanya
tanda-tanda dehidrasi (turgor kulit jelek, mata cekung, dll) 3. Monitor status nutrisi 4. Persiapkan pemberian transfusi (seperti mengecek darah dengan
identitas pasien, menyiapkan terpasangnya alat transfusi) 5. Awasi pemberian
komponen darah/transfusi 6. Awasi respon klien
selama pemberian komponen darah 7. Monitor hasil
laboratorium (kadar Hb, Besi serum, angka trombosit) |
2. |
Intoleransi aktifitas b.d tidak seimbangnya kebutuhan dan suplai oksigen |
NOC · Konservasi Energi · Perawatan Diri: ADL Kriteria Hasil: · Klien dapat melakukan
aktifitas yang dianjurkan dengan tetap mempertahankan tekanan darah, nadi,
dan frekuensi pernafasan dalam rentang normal |
NNIC 1. Manajemen energi Definisi: Mengatur
penggunaan energi untuk mencegah kelelahan dan mengoptimalkan fungsi Aktifitas: 1. Tentukan keterbatasan
aktifitas fisik pasien 2. Kaji persepsi pasien
tentang penyebab kelelahan yang dialaminya 3. Dorong pengungkapan
peraaan klien tentang adanya kelemahan fisik 4. Monitor intake nutrisi
untuk meyakinkan sumber energi yang cukup 5. Konsultasi dengan ahli
gizi tentang cara peningkatan energi melalui makanan 6. Monitor respon
kardiopulmonari terhadap aktifitas (seperti takikardi, dispnea, disritmia,
diaporesis, frekuensi pernafasan, warna kulit, tekanan darah) 7. Monitor pola dan
kuantitas tidur 8. Bantu pasien
menjadwalkan istirahat dan aktifitas 9. Monitor respon
oksigenasi pasien selama aktifitas 10. Ajari pasien untuk
mengenali tanda dan gejala kelelahan sehingga dapat mengurangi
aktifitasnya. 2. Terapi Oksigen Definisi: Mengelola pemberian oksigen dan memonitor keefektifannya Aktifitas: 1. Bersihkan mulut, hidung,
trakea bila ada secret 2. Pertahankan kepatenan
jalan nafas 3. Atur alat oksigenasi
termasuk humidifier 4. Monitor aliran oksigen
sesuai program 5. Secara periodik,
monitor ketepatan pemasangan alat |
3. |
Ketidakseimbangan nitrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia |
NOC · Status Nutrisi: Energi · Kontrol Berat Badan Kriteria Hasil : Klien menunjukkan · Pencapaian berat badan
normal yang diharapkan · Berat badan sesuai
dengan umur dan tinggi badan · Bebas dari tanda
malnutrisi |
NNIC Definisi: Membantu dan
atau menyediakan asupan makanan dan cairan yang seimbang Aktifitas: 1. Tanyakan pada pasien tentang alergi terhadap makanan 2. Tanyakan makanan
kesukaan pasien 3. Kolaborasi dengan ahli
gizi tentang jumlah kalori dan tipe nutrisi yang dibutuhkan (TKTP) 4. Anjurkan masukan kalori yang tepat yang sesuai
dengan kebutuhan energi 5. Sajikan diit dalam keadaan hangat Definisi : Mengumpulkan dan menganalisis
data pasien untuk mencegah atau meminimalkan malnutrisi Aktifitas: 1. Monitor adanya
penurunan BB 2. Ciptakan
lingkungan nyaman selama klien makan. 3. Jadwalkan pengobatan
dan tindakan, tidak selama jam makan. 4. Monitor kulit (kering)
dan perubahan pigmentasi 5. Monitor turgor kulit 6. Monitor mual dan
muntah 7. Monitor kadar albumin,
total protein, Hb, kadar hematokrit 8. Monitor kadar limfosit
dan elektrolit 9. Monitor pertumbuhan
dan perkembangan. |
4. |
Kecemasan (orang tua) b.d kurang pengetahuan |
NOC : · Kontrol Kecemasan Kriteria Hasil : · Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan
gejala cemas · Mengidentifikasi, mengungkapkan, dan menunjukkan
teknik untuk mengontrol cemas · Vital sign (TD, nadi, respirasi) dalam batas normal · Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan
tingkat aktivitas menunjukkan berkurangnya kecemasan. · Menunjukkan peningkatan konsentrasi dan akurasi
dalam berpikir |
NIC 1. Menurunkan cemas Definisi: Meminimalkan rasa
takut, cemas, merasa dalam bahaya atau ketidaknyamanan terhadap sumber yang
tidak diketahui. Aktifitas: 1. Gunakan pendekatan dengan konsep atraumatik care 2. Jangan memberikan jaminan tentang prognosis penyakit 3. Jelaskan semua prosedur dan dengarkan keluhan klien 4. Pahami harapan pasien dalam situasi stres 5. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan
mengurangi takut 6. Bersama tim kesehatan, berikan informasi
mengenai diagnosis, tindakan prognosis 7. Anjurkan keluarga untuk menemani anak dalam
pelaksanaan tindakan keperawatan 8. Lakukan massage pada leher dan punggung, bila perlu 9. Bantu pasien mengenal penyebab kecemasan 10. Dorong
pasien/keluarga untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi
tentang penyakit 11. Instruksikan pasien
menggunakan teknik relaksasi (sepert tarik napas dalam, distraksi, dll) 12. Kolaborasi
pemberian obat untuk mengurangi kecemasan |
4.
Evaluasi
DIAGNOSA |
CATATAN PERKEMBANGAN |
Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan berkurangnya
komponen seluler yang menghantarkan oksigen/nutrisi |
S= pasien mengatakan kulitnya sudah tidak kering lagi O= nadi perifer pasien sudah teraba dan kulit pasien teraba
hangat A= masalah teratasi P= pertahankan intervensi |
Intoleransi aktifitas berhubungan dengan tidak seimbangnya kebutuhan dan
suplai oksigen |
S= pasien mengatakan masih lemas untuk melakukan aktifitasnya O= pasien masih dibantu dalam melakukan aktifitas A= masalah belum teratasi P= lanjutkan intervensi |
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia |
S= pasien mengatakan hanya makan 5
suap O= berat badan pasien masih dibawah
normal A= masalah belum teratasi P= lanjutkan intervensi |
Kecemasan (orang tua) berhubungan dengan kurang pengetahuan |
S= pasien dan orang tua pasien mengatakan sudah paham
tentang penyakit thalasemia O= pasien dan orang tua pasien sudah mampu menjelaskan tentang penyakit thalasemia A= masalah teratasi P= pertahankan intervensi |
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Thalasemia adalah suatu
penyakit keturunan yang diakibatkan oleh kegagalan pembentukan salah satu dari
empat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin. Thalasemia diklasifikasikan
berdasarkan molekuler menjadi dua yaitu thalasemia alfa dan thalasemia beta. Thalassemia bukan penyakit menular melainkan penyakit yang diturunkan
secara genetik dan resesif. Penyebab anemia pada talasemia bersifat primer dan
sekunder. gejala thalasemia yaitu lethargi, pucat,
kelemahan, anoreksia, sesak napas, tebalnya tulang kranial, pembesaran limpa,
menipisnya tulang kartilago. Pemeriksaan penunjang untuk Thalassemia
terdapat dua yaitu secara screening test dan definitive
test.
B.
Saran
Dalam
pembuatan makalah ini,
kami sebagai penulis tidak lepas dari kesalahan. Demi kesempurnaan makalah, kami
mengharap kritik dan saran agar pembuatan makalah kami selanjutnya bisa lebih
baik dan cermat.
DAFTAR PUSTAKA
Hassan r dan Alatas h. (2002). Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan
anak. bagian 19 Hematologi hal. 419-450, bagian ilmu kesehatan anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.
Herdata,heru noviat.(2008). Thalasemia,
http://ebookfkunsyiah.wordpress.com/category/hemato-onkologi/thalassemia/
Modell, B & Darlison, M. (2008). Global epidemiology of
hemoglobin disorders and derived service indicators. Bulletin of the World
Health Organization, volume 86, number 6.
Ngastiyah. (2005). Keperawatan anak 1.
Edisi II. Jakarta: EGC.
Suriadi dan Yuliana rita. (2001). Asuhan keperawatan anak. Edisi I.Jakarta
: PT Fajar Interpratama.
Suriadi dan Yuliana rita. (2010). Asuhan keperawatan
pada anak. Edisi II. Jakarta : CV.SAGUNG
SETO.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar