Rabu, 14 Desember 2022

SKRIPSI ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN RINGAN (STUDI NOMOR 1067/PID.B/2021/PN TJK) DI PENGADILAN NEGERI KELAS 1A

 

 

 

 

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN RINGAN (STUDI NOMOR 1067/PID.B/2021/PN TJK) DI PENGADILAN NEGERI KELAS 1A

TANJUNG KARANG

 

 

(Skripsi)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SANG BUMI RUWA JURAI

BANDAR LAMPUNG

2022


DAFTAR ISI

 

 

 

I.        PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

B.     Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

C.     Tujuan dan Kegunaan Penelitian

D.    Konsepsional

 

II.     TINJAUAN PUSTAKA

A.    Pengertian Hukum Putusan Hakim

B.     Pengertian Tindak Pidana Ringan dan Berat

C.     Kategori Penganiayaan Ringan

D.    Teori Faktor Penyebab Kejahatan

E.     Teori Tentang Upaya Penanggulangan Kejahatan

 

III.   METODE PENELITIAN

A.    Pendekatan Masalah

B.     Jenis dan Sumber Data

C.     Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

D.    Analisis Data

 

IV.   HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.   Gambaran Umum

1.      Lokasi Penelitian

2.      Karakteristik Informan

B.    Temuan Hasil Penelitian

C.    Pembahasan

1.      Faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan penganiayaan terhadap tenaga kesehatan yang sedang bertugas di Puskesmas Kedaton Bandar Lampung.

2.      Dasar pertimbangan Hakim dalam memutus Perkara Nomor 1076/Pid.B/PN Tjk.

 

V.      KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan

B.    Saran

                                       

DAFTAR PUSTAKA


 

 

I.        PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang Masalah

 

Indonesia adalah Negara Hukum tercantum dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar yang menyatakan “ Negara Indonesia adalah Negara Hukum (Rechstat).” Negara yang bersimbol pada Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang bisa disimpukan bahwa tujuan negara tersebut adalah untuk menciptakan negara yang aman, tentram dan taat hukum.

 

Diperlukan suatu kondisi yang dapat mendukung terciptanya tujuan pembangunan nasional yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Penegakan supremasi hukum yang merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan dan berhasilnya pelaksanaan pembangunan nasional sesuai dengan reformasi. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu ditingkatkan usaha-usaha untuk memelihara ketertiban, keamanan, kedamaian dan kepastian hukum yang mampu mengayomi masyarakat Indonesia. Sebagaimana diungkapkan Sudikno Mertokusumo, bahwa dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan sasaran yang hendak dicapai. Tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan.[1]

 

Sehubungan jumlah penduduk yang besar, banyak pula permasalahan-permasalahan hukum yang timbul dalam masyarakat. Salah satunya adalah tindak pidana penganiayaan. Tindak pidana penganiayaan yang senantiasa dihadapi oleh masyarakat tidak mungkin dapat dihapuskan sampai tuntas selama kehidupan berjalan, jadi usaha yang harus dilakukan oleh manusia dalam menghadapi kejahatan haruslah bersifat penanggulangan, hal tersebut secara garis besar dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu upaya penal (Hukum Pidana) dan non penal (di luar Hukum Pidana).

 

Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal, lebih menitik beratkan pada sifat represif (merupakan tindakan yang diambil setelah kejahatan terjadi). Sebaliknya upaya non penal menitik beratkan pada sifat preventif (menciptakan kebijaksanaan sebelum terjadinya tindak pidana), namun dalam prakteknya penanganan suatu tindak pidana terjadi semacam disparitas perlakuan antara hak-hak yang diberikan antara korban dengan tersangka dalam peraturan perundang-undangan. Dalam perkara tindak pidana korban kejahatan sebenarnya merupakan pihak yang paling menderita. Namun selama ini, dalam penyelesaian perkara pidana banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai. Dalam hukum pidana di Indonesia selama ini korban kejahatan hanya ditempatkan sebagai alat bukti yang memberi keterangan yaitu saksi sehingga kemungkinan untuk korban memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya kecil.

 

Salah satu contoh tindak pidana penganiayaan yang sedang menjadi pembicaraan akhir-akhir ini adalah tindakan kekerasan yang dilakukan keluarga pasien kepada perawat adalah kasus penganiayaan terhadap perawat terjadi di Puskemas Kedaton Bandar Lampung. Rendy yang awalnya mengaku dikeroyok oleh Awang dan dua orang lainnya sudah melaporkan peristiwa itu lebih dulu ke Polsek Kedaton sebagai kasus penganiayaan dan pengeroyokan. Berdasarkan laporan Rendy tersebut, tim penyidik Polsek Kedaton juga telah melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) dan meminta keterangan dari tiga orang saksi di lapangan. Sementara Awang yang sebelumnya berstatus sebagai terlapor di Polsek Kedaton, memilih melaporkan balik Rendy ke Polresta Bandar Lampung dengan tuduhan yang sama, yakni penganiayaan.[2]

 

Penganiayaan terhadap tenaga kesehatan oleh keluarga pasien seharusnya tidak perlu terjadi. Bila pasien mendapati kelalaian dokter, perawat, atau tenaga kesehatan lainnya, mereka bisa meminta pertanggungjawaban baik secara hukum perdata atau pidana sesuai undang-undang yang berlaku. Perawat memang tidak bisa lepas dari kesalahan (nursing error) atau kelalaian (nursing negligence). Atas kesalahan atau kelalaian mereka, pasien bisa meminta pertanggungjawaban. Ada sejumlah jenis pidana yang bisa dikenakan kepada perawat yang melakukan kesalahan atau kelalaian. Perawat bisa diancam dengan pidana kelalaian yang mengakibatkan luka sesuai dengan Pasal 360 KUHP atau bila mengakibatkan luka berat atau mati, sesuai Pasal 359 KUHP. Selain itu, Pasal 84 Ayat (1) Undang-Undang Tenaga Kesehatan 36 Tahun 2014 juga mengatur pidana terhadap setiap tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat sehingga penerima layanan kesehatan luka berat. Perawat yang dituntut dengan pasal itu terancam pidana penjara paling lama tiga tahun. Sedangkan bila kelalaian itu menyebabkan kematian, ancamannya paling lama lima tahun.[3]

 

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: Analisis Yuridis Putusan Hakim Dalam Perkara (Nomor 1067/PID.B/2021/PN TJK) di Pengadilan Negeri Tanjung Karang

 

B.     Permasalahan dan Ruang Lingkup

1.      Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas,  permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a.       Apakah yang menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan penganiayaan terhadap tenaga kesehatan yang sedang bertugas di Puskesmas Kedaton Bandar Lampung?

b.      Bagaimanakah dasar pertimbangan Hakim dalam memutus Perkara Nomor 1076/Pid.B/PN Tjk?

 

 

 

 

 

2.      Ruang Lingkup

Adapun  ruang  lingkup  penelitian dari masalah di atas adalah

a.       Materi penelitian terbatas pada hukum pidana khususnya tentang:

1)      Faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan penganiayaan terhadap tenaga kesehatan yang sedang bertugas di Puskesmas Kedaton Bandar Lampung.

2)      Dasar pertimbangan Hakim dalam memutus Perkara Nomor 1076/Pid.B/PN Tjk.

b.      Penelitian dilakukan pada Tahun 2022.

 

C.    Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.      Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

a.       Untuk mengetahui dan memahami analisis Hakim dalam memutus perkara Nomor 1067/Pid.B/2021/PN Tjk

b.      Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan penganiayaan terhadap tenaga kesehatan yang sedang bertugas di Puskesmas Kedaton Bandar Lampung.

c.       Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis dasar pertimbangan Hakim dalam memutus Perkara Nomor 1076/Pid.B/PN Tjk.

 

 

 

 

 

2.      Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut.

a.      Kegunaan Teoritis

Secara teoretis diharapkan penulisan ini dapat digunakan sebagai bahan kajian bagi kalangan hukum dalam mengembangkan dan memperluas ilmu pengetahuan dan dalam bidang hukum pada umumnya, dan khususnya Hukum Pidana.

 

b.      Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada praktisi hukum khususnya, serta kepada masyarakat umumnya untuk mengetahui dan turut serta berpartisipasi dalam kasus penegakan hukum khususnya mengenai analisis yuridis putusan hakim (1 bulan) dalam perkara tindak pidana penganiayaan terhadap tenaga kesehatan yang sedang bertugas di Puskesmas Kedaton Bandar Lampung. Serta sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai Bandar Lampung.

 

D.    Konsepsional

  1. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dan seabgainya). Penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.[4]
  2. Yuridis merupakan nama lain dari hukum itu sendiri dan yuridis lebih banyak dipergunakan untuk menegaskan aspek kekuatan hukum atau landasan dari suatu hal yang telah diatur secara mengikat oleh hukum.[5]
  3. Tindak pidana merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggung jawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidanya sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas (Principle of legality) asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa  latin  sebagai  Nullum  delictum  nulla  poena  sine  praevia  lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu).[6]
  4. Penganiayaan adalah perbuatan dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menjaga keselamatan badan.[7]
  5. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.[8]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


II.      TINJAUAN PUSTAKA

 

A.    Pengertian Hukum Putusan Hakim

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.[9]

 

Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah satu usaha untuk mencapai kepastian hukum kehakiman, di mana hakim merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur tercapainya suatu kepastian hukum.

 

Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut. Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 Ayat (1) Undang-Undang Nomor  35 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor  48 Tahun 2009 yaitu: pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan unruk bercermin pada yurisprudensil dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 yaitu: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.

 

B.     Pengertian Tindak Pidana Ringan dan Berat

Menurut M. Yahya Harahap Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali menyatakan antara lain bahwa Tindak Pidana Ringan merupakan jenis tindak pidana yang dapat digolongkan ke dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan. Tetapi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak menjelaskan mengenai tindak pidana yang termasuk dalam pemeriksaan acara ringan. Namun, KUHAP menentukan patokan dari segi “ancaman pidananya”.[10]

 

Berdasarkan Pasal 205 ayat (1) KUHAP tindak pidan ringan yaitu Perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7500 (tujuh ribu lima ratus rupiah); Penghinaan ringan, kecuali yang ditentukan dalam paragraf 2 bagian ini (Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran lalu lintas) (Pasal 205 ayat (1) KUHAP); Terhadap perkara yang diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda lebih dari Rp 7500, juga termasuk wewenang pemeriksaan Tipiring (Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 18 Tahun 1983).

 

Tindak pidana berat dapat dicontohkan seperti penganiayaan berat dirumuskan dalam Pasal 354 KUHP yang rumusannya adalah sebgai berikut:

a.       Siapa sengaja melukai berat orang lain, dipidana kerena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

b.      Jika  perbuatan  itu  mengakibatkan  kematian,  yang  bersalah  di pidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

 

Penganiayan berat (zwar lichamelijk letsel toebrengt) atau dapat disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang lain haruslah dilakukan dengan sengaja. Kesengajaan itu harus mengenai ketiga unsur dari kejahatan yaitu, pebuatan yang dilarang, akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larang itu dan bahwa perbuatan itu melanggar hukum. Ketiga unsur di atas harus disebutkan dalam undang-undang sebagai unsur dari kejahatan, seorang jaksa harus teliti dalam merumuskan apakah yang telah dilakukan oleh seorang terdakwa dan ia harus menyebukan pula tuduhan pidana semua unsur  yang disebutkan dalam undang-undang sebagai unsur dari kejahatan.

 

Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan maka kesengajaan ini harus sekaligus ditujukan baik tehadap perbuatannya, (misalnya menusuk dengan pisau), maupun terhadap akibatnya, yakni luka berat. Mengenai luka berat disini bersifat abstrak bagaimana bentuknya luka  berat, kita hanya dapat merumuskan luka berat yang telah dijelaskan pada Pasal 90 KUHP sebagai berikut: Luka berat berarti:

a.       Jatuh sakit atau luka yang tak dapat diharapkan akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut.

b.      Senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan pencaharian.

c.       Tidak dapat lagi memakai salah satu panca indra.

d.      Mendapat cacat besar.

e.       Lumpuh (kelumpuhan).

f.       Akal (tenaga faham) tidak sempurna lebih lama dari empat minggu.

g.      Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.

 

Pada Pasal 90 KUHP di atas telah dijelaskan tentang golongan yang bisa dikatakan sebagi luka berat, sedangkan akibat kematian pada penganiayaan berat bukanlah merupakan unsur penganiayaan berat, melainkan merupakan faktor atau alasan memperberat pidana dalam penganiayaan berat.

 

C.    Kategori Penganiayaan Ringan

Leden Marpaung membuat pengertian penganiayaan” sebagai berikut. menganiaya ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menjaga keselamatan badan.[11]

 

Penganiayaan ringan adalah penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalakan kerjaan jabatan atau pencarian, diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4500 (empat ribu lima ratus rupiah).

 

Disebut penganiayaan ringan karena penganiayaan ini tidak menyebabkan luka atau penyakit dan tidak menyebabkan si korban tidak bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya. Kejahatan penganiayaan ringan diatur dalam Pasal 352 KUHP sebagai berikut:

a.       Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan Pasal 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, dipidana sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya.

b.      Percobaan  untuk  melakukan  kejahatan  ini  tidak  dipidana.

Melihat Pasal 352 KUHP Ayat (2)  bahwa   percobaan melakukan kejahatan itu (penganiyaan ringan) tidak dapat dipidana meskipun dalam pengertiannya menurut para ahli hukum, percobaan adalah menuju kesuatu hal, tetapi tidak sampai pada sesuatu hal yang di tuju, atau hendak berbuat sesuatu dan sudah dimulai akan tetapi  tidak sampai selesai. Disini yang dimaksud adalah percobaan untuk melakukan kejahatan yang bisa membahayakan orang lain dan yang telah diatur dalam Pasal 53 Ayat (1). Sedangkan percobaan yang ada dalam penganiyaan ini tidak akan membahayakan orang lain.

 

D.    Teori Penyebab Terjadinya Kejahatan

Adapun beberapa teori tentang penyebab terjadinya kejahatan, yaitu:

1.         Teori Lingkungan

Muzhab ini dipelopori A. Lacassagne dalam teori penyebab terjadinya kejahatan yang mendasarkan diri pada pemikiran bahwa “dunia lebih bertanggung jawab atas jadinya diri sendiri”

 

 

2.         Teori Kontrol Sosial

Ada dua macam kontrol yaitu personal kontrol dan sosial kontrol. Personal kontrol dan sosial kontrol. Personal kontrol adalah kemampuan seseorang untuk menahan diri agar seseorang tidak mencapai kebutuhannya dengan cara melaggar norma yang berlaku dalam masyarakat. Sedangkan komtrol sosial adalah kemampuan kelompok sosial atau lembaga dalam masyarakat untuk melaksanakan norma-norma atau peraturan menjadi efektif.[12]

3.         Teori Spiritualisme

Menurut teori ini sebab terjadinya kejahatan dapat dilihat dari sudut kerohanian dan keagamaan, karena sebab terjadinya kejahatan adalah tidak beragamanya seseorang. Oleh karena itu, semakin jauh hubungan seseorang dengan agama seseorang maka semakin besar kemungkinan seseorang untuk melakukan kejahatan dan sebaliknya, semakin dekat seseorang dengan agamanya maka semakin takut orang tersebut untuk melakukan hal-hal yang menjurus kepada kejahatan.

4.         Teori Multi Faktor

Teori ini sangat berbeda dengan teori-teori sebelumnya dalam memberi tanggapan terhadap kejahatan dengan berpendapat “Penyebabnya terjadi kejahatan tidak ditentukan oleh satu atau dua faktor yang menjadi penyebab kejahatan”.

 

5.         Partisipasi Masyarakat

Pengawasan dan kesiagaan terhadap kemungkinan timbulnya kejahatan.[13] Penanggulangan kejahatan kalau diartikan secara luas akan banyak pihak yang terlibat didalamnya antara lain adalah pembentuk Undang-Undang, kejaksaan, pamong praja dan aparat eksekusi serta orang biasa.[14]

 

Hal ini sesuai dengan pendapat Soedjono yang merumuskan kejahatan sebagai perbuatan yang sangat merugikan masyarakat dilakukan oleh anggota masyarakat itu juga, maka masyarakat juga dibebankan kewajiban demi keselamatan dan ketertibannya, masyarakat secara keseluruhan ikut bersama-sama badan yang berwenang menanggulangi kejahatan.[15]

 

Berdasarkan uraian di atas maka usaha-usaha untuk menanggulangi dan mencegah terjadinya kejahatan, maka kepada masyarakat juga di bebankan untuk turut serta bersama-sama aparat penegak hukum guna menanggulangi kejahatan semaksimal mungkin.

 

E.     Teori Penanggulangan Kejahatan

Usaha untuk menanggulangi kejahatan mempunyai dua cara yaitu preventif (mencegah sebelum terjadinnya kejahatan) dan tindakan represif (usaha sesudah terjadinya kejahatan). Berikut ini diuraikan pula masing-masing uasaha tersebut:

 

1.        Tindakan Preventif

Tindakan preventif adalah tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau menjaga kemungkinan akan terjadinya kejahatan. Menurut A. Qirom Samsudin M, dalam kaitannya untuk melakukan tindak preventif adalah mencegah kejahatan lebih baik dari pada mendidik penjahat menjadi baik kembali, sebab bukan saja diperhitungkan segi biaya, tapi usaha ini lebih mudah dan akan mendapat hasil yang memuaskan atau mencapai tujuan.[16]

 

Selanjutnya Bonger berpendapat cara menanggulangi kejahatan yang terpenting adalah:

a.       Preventif kejahatan dalam arti luas, meliputi reformasi dan prevensi dalam arti sempit;

b.      Prevensi kejahatan dalam arti sempit meliputi:

1)        Moralistik yaitu menyebarluaskan sarana-sarana yang dapat memperteguhkan moral seseorang agar dapat terhindar dari nafsu berbuat jahat.

2)        Abalionistik yaitu berusaha mencegah tumbuhnya keinginan kejahatan dan meniadakan faktor-faktor yang terkenal sebagai penyebab timbulnya kejahatan, misalnya memperbaiki ekonomi dan lain-lain.

3)        Berusaha melakukan pengawasan dan pengontrolan terhadap kejahatan dengan dengan berusaha menciptakan sistem organisasi dan perlengkapan kepolisian dengan baik, sistem peradilan yang objektif dan hukum yang baik.

4)        Mencegah kejahatan dengan pengawasan dan patrol yang teratur.

5)        Prevensi kenakalan anak-anak sebagai sarana pokok dalam usaha prevensi kejahatan pada umumnya.[17]

 

2.      Tindakan Represif

Tindakan represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum sesudah terjadinya tindak pidana.[18] Tindakan represif lebih dititikberatkan terhadap orang yang melakukan tindak pidana, yaitu antara lain dengan memberikan hukum (pidana) yang setimpal atas perbuatannya. Tindakan ini sebenarnya dapat juga dipandang sebagai pencegahan untuk masa yang akan datang. Tindakan ini meliputi cara penegak hukum dalam melakukan penyidikan, penyidikan lanjutan, penuntutan pidana, pemeriksaan di pengadilan, eksekusi dan seterusnya sampai pembinaan narapidana. Penanggulangan kejahatan secara represif ini dilakukan juga dengan teknik rehabilitas, menurut Cressey terdapat dua konsepsi mengenai cara atau teknik rehabilitasi, yaitu:

a.         Menciptakan sistem program yang bertujuan untuk menghukum penjahat, sitem ini bersifat memperbaiki antara lain hukuman bersyarat dan hukuman kurungan.

b.        Lebih ditekankan pada usaha agar penjahat dapat berubah menjadi orang biasa, selama menjalankan hukuman dicarikan pekerjaan bagi terhukum dan konsultasi pisikologi, diberikan kursus keterampilan agar kelak menyesuaikan diru dengan masyarakat.[19]

 

Upaya represif adalah upaya yang dilakukan pada saat telah terjadoi tindak pidana/kejahatan yang tindakannya berupa penegakan hukum (law enforcement) dengan menjatuhkan hukuman. Upaya preventif adalah tindakan lanjut dari upaya pre-emptif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya tindakan kejahatan. Dalma upaya preventif ini yang ditekankan adlaah menghilangkan keempatan untuk melakukan kejahatan. Upaya pre-emptif adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Usaha-usaha yang dilakukan dalam penanggulangan kejahatan secara pre-emptif adalah menanamkan nilai-nilai, norma-norma yang baik sehhingga norma-norma tersebut terinternalisasi dalam diri seseorang. Meskipun ada kesempatan untuk melakukan kejahatan tetapi tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut maka tidak akan terjadi kejahatan. Jadi dalam usaha pre-emptif faktor niat akan hilang meskipun ada kesempatan.

 

 

 

 


III. METODE PENELITIAN

 

 

 

A.    Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan empiris.

1.      Pendekatan Yuridis

Pendekatan normatif yaitu pendekatan melalui studi kepustakaan, studi komperatif dan studi dokumen dengan cara membaca, mengutip, dan menelaah kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas. Pendekatan tersebut dimaksudkan untuk mengumpulkan berbagai macam peraturan perundang-undangan, teori-teori, dan literatur-literatur yang erat hubungannya dengan masalah dan pembahasan pada penelitian ini. [20]

 

2.      Pendekatan Empiris

Pendekatan empiris yaitu pendekatan yang dilakukan dengan melakukan penelitian di lapangan sebagai objek penelitian dengan cara wawancara guna memperoleh gambaran dari data yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam penelitian ini. [21]

 

 

 

B.     Jenis dan Sumber Data

1.      Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder.

a.       Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan (field research) secara langsung pada objek penelitian yang dilakukan dengan cara wawancara dengan narasumber.

b.      Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan (library research) terhadap bahan-bahan hukum, asas-asas hukum, peraturan-peraturan dengan cara membaca, mengutip, menyalin dan menganalisis. Selanjutnya data sekunder mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya. 

 

2.      Sumber Data

Sumber data adalah tempat dari mana data tersebut diperoleh. Dalam penelitian ini data yang digunakan meliputi 3 (dua) sumber data, yaitu:

a.       Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat mengikat berupa Peraturan Perundang-undangan, peraturan dasar, norma atau kaidah dasar bahan hukum yang tidak dikodifikasi.  Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan adalah :

1)      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2)      Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakukan Peraturan Hukum Pidana di Seluruh Indonesia (KUHP).

3)      Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

4)      Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

5)      Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

6)      Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

7)      Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan

8)      Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 yang kemudian diperbaharuhi dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP.

b.      Bahan Hukum Sekunder adalah yang diambil dari literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan, karya-karya ilmiah, dan hasil-hasil penelitian para pakar sesuai dengan objek pembahasan penelitian.

c.       Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti Kamus (hukum), Ensiklopedia.

 

 

C.    Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1.      Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur Pengumpulan Data adalah prosedur yang sistematis da standar untuk memperoleh data yang ada hubungannya dengan metode pengumpulan data dengan masalah yang dipecahkan. Untuk melengkapi data guna pengujian penelitian ini, digunakan prosedur pengumpulan data yang terdiri dari:

1)      Studi Kepustakaan (Library research)

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengadakan studi kepustakaan (Library research), studi komperatif, dan studi dokumen. Studi ini dimaksudkan untuk memperoleh arah pemikiran dan tujuan penelitian yang dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, mengutip dan menelaah literatur-literatur yang menunjang, peraturan perundang-undangan serta bahan-bahan bacaan ilmiah lainnya yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang akan dibahas.

2)      Studi Lapangan (Field Research)

Data primer diperoleh melalui studi lapangan (field research) dengan cara yaitu wawancara (interview) yaitu pengumpulan data dengan cara melakukan wawancara (interview) secara langsung dengan alat bantu daftar pertanyaan yang bersifat terbuka sebagai pedoman dan dapat berkembang pada saat penelitian berlangsung, wawancara dilakukan dengan Fitri Ramadhan selaku Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang.

2.      Prosedur Pengolahan Data

Kegiatan pengolahan data dapat dilakukan sebagai berikut:

a.       Pemeriksaan data

Pemeriksaan data yaitu memeriksa kembali kelengkapan jawaban, kejelasannya dan relevansi dengan tujuan penelitian.

b.      Klasifikasi data

Klasifikasi data yaitu mengklasifikasikan, menggolongkan dan mengelompokan jawaban responden menurut pokok bahasan dengan tujuan mempermudah menganalisis data yang telah ditentukan.

c.       Sistematisasi data

Sistematisasi data yaitu penyusunan data dilakukan dengan cara mengklasifikasikan, menggolongkan dan mengelompokan menurut pokok bahasan dengan tujuan mempermudah menganalisis data yang telah ditentukan.

 

D.    Analisa Data

Metode penelitian analisis kualitatif adalah penelitian yang dimulai dengan teori-teori umum, lalu berlanjut dengan observasi untuk menguji validitas keberlakuan teori tersebut. Jenis penelitian ini berupaya menggambarkan kejadian atau fenomena sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan, dimana data yang dihasilkan berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.[22]

 

 


IV.  HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

 

A.    Gambaran Umum Tempat Penelitian

 

1.      Lokasi Penelitian

Pengadilan Negeri Tanjungkarang semula berada di Jalan Teuku Umar Nomor19 Tanjungkarang, merupakan gedung PT. Kereta Api Indonesia. Kemudian Sejak berdirinya gedung Pengadilan Negeri Tanjungkarang, mulai Tanggal 6 Mei 1967 kegiatan perkantoran pindah ke Jalan Rudolf Walter Monginsidi/Beringin Nomor 27 Teluk Betung sampai dengan sekarang.

 

Pengadilan Negeri Tanjungkarang mengalami beberapa kali pengembangan tahun 1996-1997 menambah 2 (dua) buah ruang sidang. Ditahun 2005 terjadi pembongkaran besar-besaran. Gedung Pengadilan Negeri Tanjungkarang yang semula menghadap kearah Utara kemudian di alihkan menghadap ke arah timur dengan bangunan 2 (dua) lantai, 1 (satu) baseman.

 

Untuk lantai dasar terdiri dari 7 ruang sidang biasa, 1 (satu) ruang sidang anak dan 1 (satu) Ruang sidang Utama, Ruang Panitera Muda Pidana, Ruang Panitera Perdata, Ruang Jaksa, Ruang Posbakum Ruang Juru Sita, Ruang Wartawan, Ruang Tunggu Anak dan Ruang Arsip. sedangkan lantai 2 terdiri dari ruangan Ketua Pengadilan Negeri, Ruang Panitera, Ruang Wakil Ketua Pengadilan Negeri, Ruang Mediasi/Diversi, Ruang Sub Bagian Kepegawaian dan Organisasi Tata Laksana,Ruang Sub Bagian Perencanaan Teknologi Informasi dan Pelaporan, Ruang Hakim 3, Ruang Panitera Pengganti 3, Ruang Panitera Pengganti 1, Ruang Sub Bagian Umum dan Keuangan,Ruang Persediaan ATK, Ruang Panitera Pengganti 2, Ruang Hakim Ad Hoc Tipikor, Ruang Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Indiustrial, Ruang Panitera Muda Tipikor, Ruang Sekretaris, Ruang Wakil Panitera, Ruang Hakim 2, Ruang Hakim 1. Untuk bagian Baseman Ruang Tahanan Wanita, Ruang tahanan Pria, Ruang Tahanan Anak.

 

Gedung Utama dihancurkan kemudian di bangun kembali dengan melalui 5 tahap (tahun 2005 sampai dengan 2009). sedangkan untuk gedung yang berada dibawah (gedung lama) masih digunakan untuk ruang panitera Muda Hubungan Industrial, dan Ruang Panitera Muda Hukum, Mushola dan Rumah Penjaga Kantor

 

2.      Karakteristik Responden

Nama   : Fitri Ramadhan, S.H., M.H.

Jabatan            : Hakim

Instansi            : Pengadilan Negeri Kelas I Tanjung Karang

 

B.     Temuan Hasil Penelitian

Para Terdakwa didampingi oleh Penasihat Hukum Sujarwo, S.H.,M.H., Dkk, Advokat pada Kantor Advokat/Konsultan Hukum Sujarwo & Partners, berkantor di Jalan Gatot Subroto No.70 C, Pahoman, Kota Bandar Lampung, Propinsi Lampung, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 11 Oktober 2021 yang telah didaftarkan pada Kepaniteraan Hukum Pengadilan Negeri Tanjungkarang dengan Nomor 913/SK/2021/PN Tjk. Setelah membaca Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Tanjungkarang Nomor 1067/Pid.B/2021/PN Tjk tanggal 07 Oktober 2021 Tentang Penunjukan Majelis Hakim, Penetapan Majelis Hakim Nomor 1067/Pid.B/2021/PN Tjk tanggal 07 Oktober 2021 tentang Penetapan Hari Sidang serta berkas perkara dan surat-surat lain yang bersangkutan. Setelah mendengar keterangan Saksi-saksi, Ahli dan Para Terdakwa dan barang bukti yang diajukan di persidangan dan Setelah mendengar pembacaan tuntutan pidana yang diajukan oleh Penuntut Umum yang pada pokoknya sebagai berikut:

1.      Menyatakan  Terdakwa I. Awang Helmi Christanto Bin Hi. Budiono, Terdakwa II. Novan Putra Abdillah Bin Hi. Budiono dan Terdakwa III. Didit Maulana Bin Jayani telah terbukti bersalah melakukan  dengan dengan terang-terangan dan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang sebagaimana dalam dakwaan kedua Penuntut Umum;

2.      Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa I. Awang Helmi Christanto Bin Hi. Budiono, Terdakwa II. Novan Putra Abdillah Bin Hi. Budiono dan Terdakwa III. Didit Maulana Bin Jayani berupa pidana penjara masing-masing selama 2 (dua) bulan penjara dikurangi selama Para Terdakwa berada dalam tahanan;

3.      Menyatakan barang bukti berupa :

a.       1 (satu) buah kacamata dengan bingkai warna hitam; Dikembalikan kepada Terdakwa Awang Helmi Christanto Bin Hi. Budiono;

b.      1 (satu) buah paving blok dirampas untuk dimusnahkan;

c.       1 (satu) buah flashdisk yang menyimpan rekaman video tetap terlampir dalam berkas perkara;

4.      Menetapkan agar Terdakwa I. Awang Helmi Christanto Bin Hi. Budiono, Terdakwa II. Novan Putra Abdillah Bin Hi. Budiono dan Terdakwa III. DIDIT Maulana Bin Jayani membayar biaya perkara masing-masing sebesar Rp2.000,00 (dua ribu rupiah);

 

C.    Pembahasan

1.      Faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan penganiayaan terhadap tenaga kesehatan yang sedang bertugas di Puskesmas Kedaton Bandar Lampung

 

Kriminologi yang menunjuk  pada studi ilmiah tentang sifat, tingkat, penyebab, dan pengendalian perilaku kriminal baik yang terdapat dalam diri individu maupun dalam kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Dengan demikian, cakupan studi kriminologi, tidak hanya menyangkut peristiwa kejahatan, tapi juga meliputi bentuk, penyebab, konsekuensi dari kejahatan, serta reaksi sosial terhadapnya, termasuk reaksi lewat peraturan perundang dan kebijakan-kebijakan pemerintah di berbagai bidang.[23]

 

Modus kejahatan adalah cara yang dilakukan oleh para pelaku untuk melakukan kejahatan. Dengan mengetahui modus kejahatan maka akan diperoleh gambaran yang jelas tentang bentuk kejahatan yang dilakukan oleh pelaku. Bentuk gejala kejahatan dibagi menurut perbuatan atau perbuatan kelompok. Tetapi perbuatan itu dapat juga dilihat sebagai ungkapan pelaku dan kemudian para pelaku dijadikan dasar pembagian. Pembagian menurut perbuatan dibagi dua bila dilihat dari cara perbuatan dilakukan, pada benda hukum dan nilai hukum yang menderita karena tindak pidana itu.

 

Menurut cara melakukan sebagai suatu kemungkinan pembagian:

a.       Perbuatan dilakukan sedemikian rupa, sehingga korban dapat mengamati perbuatan pelaku dan mengamati pelaku, tanpa mempertimbangkan apakah korban menyadari perbuatan tersebut sebagai tindak pidana atau bukan. Misalnya penganiayaan, penghinaan, perampokan, sejumlah bentuk perbuatan curang, tindak pidana seksual. Sebaliknya, perbuatan dilakukan sedemikian rupa sehingga korban tidak melihat pada perbuatan pelaku atau tidak melihat pelakunya saat perbuatan dilakukan. Misalnya penggelapan, pencurian biasa, dan pemalsuan.

b.      Perbuatan itu dilakukan dengan menggunakan atau tanpa menggunakan sarana-sarana bantu khusus (alat-alat pertukangan, bahan-bahan kimia).

c.       Perbuatan dilakukan dengan kekerasan fisik, dengan cara biasa atau cara memaksa.[24]

 

 

Penelitian yang diangkat dalam hal ini adalah tentang suatu penganiayaan dan pengeroyokan yang dilakukan beberapa orang yang menggunakan kekuatan bersama terhadap orang dengan berbagai cara dan modus yang dilakukan, salah satunya adalah penganiayaan terhadap tenaga kesehatan yang sedang bertugas. Bentuk-bentuk kekerasan ini berbagai macam salah satunya kekerasan seperti penganiayaan, Jenis-jenis penganiayan tergolong banyak seperti penganiayaan biasa, penganiayaan ringan, penganiayaan berencana, penganiayaan berat, penganiayaan berat berencana dan turut serta dalam penyerangan dan perkelahian. disini penulis akan membahas kejahatan-kejahatan seperti penganiayaan yang sedang penulis teliti.

 

Penganiayaan terhadap tenaga kesehatan oleh keluarga pasien seharusnya tidak perlu terjadi. Bila pasien mendapati kelalaian dokter, perawat, atau tenaga kesehatan lainnya, mereka bisa meminta pertanggung jawaban baik secara hukum perdata atau pidana sesuai undang-undang yang berlaku. Perawat memang tidak bisa lepas dari kesalahan atau kelalaian. Atas kesalahan atau kelalaian mereka, pasien bisa meminta pertanggung jawaban. Ada sejumlah jenis pidana yang bisa dikenakan kepada perawat yang melakukan kesalahan atau kelalaian.

 

Faktor penyebab terjadinya kejahatan penganiayaan terhadap tenaga kesehatan yang sedang bertugas adalah adanya kurangnya pemahaman Standar Operasional Prosedur (SOP) selama pandemi Covid-19 oleh korban. Sedangkan dari pihak pelaku adalah paniknya pelaku pada saat kejadian sehingga terjadi penganiayaan terhadap tenaga kesehatan.

 

Hasil wawancara dengan Fitri Ramadhan selaku Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang menyatakan bahwa secara kriminologis, dari perspektif korban kejahatan penganiayaan (si-nakes itu sendiri), maka mereka untuk konteks pandemi Covid-19 saat ini, termasuk golongan yang “rentan”, secara ringkas, mereka butuh “penguatan” dapat berupa: pendampinngan atau perlindungan dari aparat keamanan (satpam/polisi/bahkan TNI yang  khusus bertugas di tiap fasilitas kesehatan). Hasil wawancara dengan Eddy Rifai menyatakan bahwa Ketentuan umum mengenai kejahatan penganiayaan diatur dalam bab XX Pasal 351 sampai dengan Pasal 358 KUHP. Mengenai yang dimaksud dengan penganiayaan tidak dijelaskan di dalam KUHP. Pasal 351 KUHP hanya menjelaskan mengenai hukuman yang diberikan pada kejahatan tesebut. Berkaitan dengan masalah penganiayaan, maka kekerasan sering merupakan pelengkap dari bentuk kejahatan itu sendiri. Semakin menggejala dan menyebar luas frekuensi kejahatan yang diikuti dengan kekerasan dalam masyarakat, maka semakin tebal keyakinan masyarakat akan penting dan seriusnya kejahatan semacam ini, dengan demikian pada gilirannya model kejahatan ini telah membentuk presepsi yang khas di kalangan masyarakat.

 

Kejahatan yang dimuat dalam buku II KUHP, pada kenyataannya mengandung sanksi pidana yang lebih berat dari pada pelanggaran ditempatkan dalam golongan-golongan tertentu berdasarkan kesamaan sifatnya, yang salah satu sifat yang sama itu adalah berdasarkan suatu kepentingan hukum yang dibahayakan atau dilanggar. Suatu perbuatan yang yang dibentuk menjadi kejahatan dan dirumuskan dalam undang-undang lantaran perbuatan itu dinilai oleh pembentuk undang-undang sebagai perbuatan yang membahayakan suatu kepentingan hukum. Dengan menetapkan larangan untuk melakukan suatu perbuatan dengan disertai ancaman atau sanksi pidana bagi barang siapa yang melanggarnya, berarti undang-undang telah memberikan perlindungan hukum atas kepentingan-kepentingan hukum tersebut.

 

Kejahatan Penganiayaan sendiri sudah diatur dalam Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):

a.       Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

b.      Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

c.       Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

d.      Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.

e.       Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

 

Terdapat dua cara yang dimulai dari berdasarkan motif pelaku atau berdasarkan sifat-sifat pelaku. Kedua cara tersebut harus dilakukan penelitian yang mendalam terhadap pelaku. Karena motif dan sifat-sifat pelaku tidak dapat disimpulkan berdasarkan seseuatu yang kelihatan dari luar saja. Dalam perkembangannya, modus kejahatan yang dilakukan dalam masyarakat selalu berubah-ubah dan bahkan mengikuti perkembangan masyarakat itu sendiri. Misalnya saja dahulu jarang sekali terdengar berita tentang penganiayaan seperti ini yang dilakukan beramai-ramai. Namun saat ini tidak sedikit pelaku kejahatan yang melakukan penganiayaan yang mengakibatkan korbanya meninggal dunia.[25]

 

 

Modus kejahatan semakin berkembang seiring moderisasi dan perkembangan teknologi baik di bidang komunikasi, transportasi, dan informatika modern. Modernisasi dan globalisasi disamping membawa manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, juga membawa masalah yang sangat serius. Realita yang terjadi, kejahatan tidak hanya berkaitan dengan hukum pidana, tapi juga terdapat hubungan baik dengan norma-norma agama, ada masyarakat yang menerapkan norma-norma adat kebiasaan yang telah ditentukan oleh nenek moyangnya. Dalam masyarakat kita mengenal adanya berbagai jenis norma antara lain norma agama, kebiasaan, kesusilaan dan norma yang berasal dari adat istiadat. Pelanggaran atas norma tersebut dapat menyebabkan timbulnya suatu reaksi, baik berupa hukuman, cemoohan atau pengucilan. Norma itu merupakan suatu hal untuk membedakan perbuatan terpuji atau perbuatan yang wajar dengan perbuatan yang tidak terpuji atau tercela. Perbuatan yang tidak terpuji dalam masyarakat sering kali dicap sebagai perbuatan kejahatan.

 

Kejahatan penganiayaan yang dilakukan beberapa orang ini merupakan kejahatan yang sangat merisaukan masyarakat setempat. Terlebih para pelaku penganiayaan ini lebih dari satu orang dan mengakibatkan korbannya mengalami luka. Banyak pendapat tentang penyebab kejahatan. Ada yang berpendapat bahwa lingkungan adalah hal yang dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan kejahatan, ada juga yang berpendapat bahwa struktur kepribadian pelakulah yang menyebabkan seseorang melakukan kejahatan. Disisi lain ada juga pendapat yang mengkombinasikan antara pendapat pertama dengan pendapat yang kedua.

Secara umum ada beberapa faktor penyebab kejahatan,yaitu antara lain:

1.      Perangkat hukum yang kurang melindungi masyarakat

Banyak anggota masyarakat menginginkan agar setiap pelaku kejahatan dapat dihukum dengan hukuman yang seberat-beratnya bahkan harus dijatuhi pidana mati. Beberapa peraturan yang berisikan sanksi pidana bagi pelaku kejahatan tidak memiliki pidana minimal, sehingga pelaku kejahtan dapat saja dipidana di bawah pidana maksimal. Walaupun beberapa undang-undang tindak pidana khusus memiliki pidana minimal, namun pidana minimalnya dirasakan kurang membuat jera dan tidak menyurutkan niat seseorang untuk melakukan kejahatan.

2.      Penegakan hukum yang lemah

Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan kebijakan penerapan substansi hukum oleh penguasa atau rezim sesuai dengan kebijakan sosial yang telah digariskan. Tiadanya percantuman pidana minimal didalam beberapa peraturan mengisyaratkan seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dijatuhi pidana di bawah pidana maksimal yang telah ditetapkan sebelumya, padahal ketika terjadi sebuah peristiwa kejahatan, maka yang paling diinginkan oleh masyarakat adalah pelaku harus dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya atau dijatuhi hukuman mati. Terkadang vonis yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa dianggap belum memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Di sisi lain, hukum selalu dianggap tidak berpihak kepada orang-orang yang memiliki jabatan, pengaruh, dan atau uang. Sebaliknya hukum dianggap tidak berpihak kepada orang-orang yang lemah. Hukum tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Kesadaran hukum baik di lingkungan para penegak hukum maupun masyarakat masih terasa lemah. Kegagalan menciptakan keadilan oleh penegak hukum masih sering terjadi, dibarengi dengan masih banyaknya terjadi tindakan anomis serta perbuatan main hakim sendiri di lingkungan masyarakat. Tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat, sebagian menggambarkan sikap umum masyarakat yang semakin luruh kepercayaannya terhadap aparat penegak hukum. Sistem peradilan yang terpadu, juga tidak kunjung dapat ditegakkan, yang ujungnya selalu menimbulkan ketidakpuasan bagi pencari keadilan di satu sisi, dan rusaknya citra penegak hukum di sisi yang lain.

3.      Kerusakan moral

Hubungan antara kejahatan dalam arti yuridis dengan moral dapat digambarkan sebagai dua buah lingkaran dengan berbagai bentuk sebagai berikut:

a.       Pandangan ini menganggap bahwa semua tindak pidana merupakan perbuatan yang melanggar moral. Pada kelompok ini termasuk mereka yang menganggap kejahatan sebagai dosa dan mereka yang percaya bahwa pemerintah adalah pemberian Tuhan

b.      Pada pandangan ini mereka berpendapat bahwa hampir semua tindak pidana merupakan perbuatan yang melanggar moral, hanya sebagian kecil saja yang tidak melanggar moral. Pandangan ini melihat moral sebagai pengertian absolut yaitu semata-mata sebagai generalisasi dari kode moral mereka.

c.       Pandangan ini menganggap bahwa hanya kejahatan yang sangat berat merupakan perbuatan yang bertentangan dengan moral, sedangkan sebagian besar tindak pidana tidak bertentang dengan moral. Pandangan ini mendasarkan pada kenyataan bahwa dalam masyarakat terdapat berbagai kelompok masyarakat yang seringkali memiliki pandangan moral yang berbeda-beda.

d.      Pandangan ini memisahkan antara moral pribadi dengan kelompok dan hukum pidana. Hal ini karena mereka tidak melihat norma tercermin dalam perundang-undangan pidana karena alasan yang sama sekali berbeda.

4.      Kurangnya kesadaran masyarakat akan bahaya kejahatan

Kejahatan menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi masyarakat, terutama bagi korban dan keluarganya. Namun di sisi lain masih ada di antara anggota masyarakat yang kurang menyadari bahaya dari kejahatan. Hal ini terlihat dari sikap anggota masyarakat yang masih kurang berupaya untuk melakukan pencegahan terjadinya kejahatan. Pencegahan kejahatan memang harus dimulai dari individu.

5.      Pembangunan

Pembangunan dapat bersifat kriminogen apabila pembangunan itu:

a.       Tidak direncanakan secara rasional, atau direncanakan secara timpang, tidak memadai atau tidak seimbang;

b.      Mengabaikan nilai-nilai kultural dan moral;

c.       Tidak mencakup strategi perlindungan masyarakat yang menyeluruh atau integrasi.

6.      Terbukanya peluang bagi pelaku kejahatan

Kejahatan ada karena kesempatan. Kesempatan ada karena peluang terbuka bagi pelaku. Tidak sedikit peluang itu dibuka oleh masyarakat melalui sikap yang memberikan kesempatan bagi pelaku kejahatan untuk melakukan kejahatan. Misalnya:

a.       Perilaku demonstrative kekayaan dan perilaku konsumtif.

b.      Pulang larut malam atau saat dini hari.

c.       Berpergian ke tempat yang sepi.

d.      Menggunakan pakaian yang tidak sopan dan tidak menutup aurat terutama bagi perempuan.

e.       Minimnya pengawasan terhadap anak.

f.       Ucapan yang tidak senonoh.

g.      Meninggalkan rumah kosong tanpa dititipkan kepada tetangga atau pihak lain.

h.      Meninggalkan rumah dalam keadaan tidak terkunci.

i.        Terlalu mudah dan cepat percaya kepada orang yang baru dikenal.

j.        Tidak mematuhi aturan atau norma-norma yang berlaku.

k.      Tidak melaporkan individu baru dalam lingkungan.

l.        Pengamanan yang tidak maksimal.

 

 

7.      Iman yang lemah

Perkembangan zaman saat ini tidak diikuti oleh masyarakat dengan perbaikan dan peningkatan ibadah serta nilai-nilai moral. Masyarakat lebih memikirkan kehidupan duniawi dibandingkan kehidupan akhirat. Masyarakat terbiasa meninggalkan kebaikan dan melakukan ketidakbaikan. Ketidakbaikan tersebut muncul akibat tidak melaksanakan ibadah dengan baik. Padahal ibadah merupkan kinerja yang mampu mencegah manusia untuk melakukan perbuatan kejahatan. Semakin besar keimanan yang dimiliki oleh seseorang maka ia akan semakin mengingat Yang Maha Kuasa. Ketika seseorang selalu mengingat kepada Yang Maha Kuasa maka ia akan terhindar dari berbagai perbuatan yang tidak baik dan tidak dibenarkan. Keimanan merupakan kekuatan yang mampu menjaga manusia dari perbuatan maksiat dan kejahatan.

8.      Teknologi Canggih

Teknologi canggih mengubah kondisi masyarakat. Banyak hal yang dahulu tidak dikenal, tidak mudah diperoleh, atau tidak cepat kita ketahui, dengan teknologi canggih akan mudah untuk merealisasikannya. Di satu sisi, teknologi canggih akan mempermudah pekerjaan banyak orang, namun tidak demikian di sisi lainnya. Misalnya saja teknologi dalam bidang informasi yang berdampak pada kemudahan berkomunikasi, akses, dan memasukkan informasi. Saat ini, oranng dapat melakukan komunikasi tanpa batas dan tanpa mengganggu mobilitas, sehingga kelihatan tiada kendala antara waktu dan jarak. Internet memberikan kesempatan sama kepada semua orang untuk berkomunikasi, akses, dan input informasi. Berbagai informasi dapat diakses melalui internet baik itu oleh orang dewasa maupun anak-anak. Hal ini tentunya dapat memberikan dampak yang merugikan tidak hanya kepada pihak yang mengakses internet, tetapi juga berdampak pada pihak lain yang ada dalam masyarakat. Kemajuan teknologi informasi tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga mendatangakan tantangan dan efek negatif dimana kemajuan teknologi informasi juga memberikan pintu masuk bagi pelaku kejahatan untuk melaksanakan kegiatannya. Teknologi bersifat netral, bergantung pada niat penggunanya. Artinya melalui teknologi informasi itu pula kejahtan dapat dilakukan. Semakin tinggi kemampuan manusia dalam ilmu pengetahuan dan mengembangkan teknologi membawa dampak negatif di samping dampak positif. Perkembangan teknologi yang tidak disertai dengan peningkatan nilai-nilai moral menyebabkan banyak manusia yang terhanyut dalam dampak negatif teknologi. Semakin canggih teknologi maka berdampak kepada modus kejahatan yang semakin canggih pula. Kejahatan saat ini tidak hanya berdimensi nasional, tetapi juga berdimensi transnasional, bahkan dilakukan oleh kelompok-kelompok yang terorganisir.

 

Kejahatan cenderung meningkat setiap tahunnya, kejahatan dilakukan oleh orang yang lebih muda, maksudnya adalah kejahatan cenderung dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ciri-ciri : miskin, menganggur, dan juga frustasi di keluarga maupun lingkungan masyarakat. Salah satu masalah struktural yang perlu diperhatikan didalam analisis kriminologi Indonesia adalah masalah kemiskinan. Berdasarkan teori kriminologi, keadaan ini sebenarnya dianggap sangat penting karena kemiskinan merupakan bentuk kekerasan struktural dengan amat banyak korban.  Hasil penelitian yang didapat di lapangan, terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab atau latar belakang terjadinya kejahatan penganiayaan yang terdapat beberapa faktor:

1.      Teori Biologis

Teori ini mengatakan faktor-faktor fisiologis dan struktur jasmaniah seseorang dibawa sejak lahir. Melalui gen dan keturunan, dapat memunculkan penyimpangan tingkah laku. Pewarisan tipe-tipe kecenderungan abnormal dapat membuahkan tingkah laku menyimpang dan menimbulkan tingkah laku sosiopatik. Misalnya, cacat bawaan yang berkaitan dengan sifat-sifat kriminal serta penyakit mental. Faktor biologis juga menggambarkan bahwa kejahatan dapat dilihat dari fisik pelaku kejahatan itu, misalnya, dapat dilihat dari ciri-ciri biologis tertentu seperti muka yang tidak simetris, bibir tebal, hidung pesek, dan lain-lain. Namun hal ini tidak bisa dijadikan sebagai faktor penyebab terjadinya kejahatan, hanya saja sebagai teori yang digunakan untuk mengidentikkan seorang pelaku kejahatan. Selain itu, pelaku kejahatan memiliki bakat jahat yang dimiliki sejak lahir yang diperoleh dari warisan nenek moyang. Karena penjahat dilahirkan dengan memiliki warisan tindakan yang jahat.[26]

2.      Teori Psikogenesis

Teori ini mengatakan bahwa perilaku kriminalitas timbul karena faktor intelegensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi, internalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang kontroversial dan kecenderungan psikopatologis, artinya perilaku jahat merupakan reaksi terhadap masalah psikis, misalnya pada keluarga yang hancur akibat perceraian atau salah asuhan karena orangtua terlalu sibuk berkarier.  Faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya kejahatan adalah psikologis dari seorang pelaku kejahatan, maksudnya adalah pelaku memberikan respons terhadap berbagai macam tekanan kepribadian yang mendorong mereka untuk melakukan kejahatan. Faktor ini didominasi karena pribadi seseorang yang tertekan dengan keadaan hidupnya yang tak kunjung membaik, atau frustasi. Orang yang frustasi cenderung lebih mudah untuk mengonsumsi alkohol demi membantu mengurangi beban hidup yang ada dibandingkan dengan orang dalam keadaan normal.

 

Psikologis seseorang yang terganggu dalam interaksi sosial akan tetap memiliki kelakuan jahat tanpa melihat situasi dan kondisi. Pelaku kejahatan cenderung memiliki psikologis yang sedang dalam keadaan tertekan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang tak kunjung dapat ia lakukan. Sejalan dengan pemikiran itu bahwa salah satu masalah struktural yang perlu diperhatikan didalam analisis kejahatan di Indonesia adalah masalah kemiskinan. Dalam kriminologi, keadaan ini sebenarnya dianggap sangat penting karena kemiskinan merupakan bentuk kekerasan struktural dengan amat banyak korban. Kejahatan di Indonesia salah satunya juga didorong oleh krisis ekonomi, termasuk oleh ketimpangan pendapatan dan ketidakadilan ekonomi.[27]

 

Faktor ekonomi ini membuat orang akan memiliki keinginan untuk mendapatkan uang dalam waktu yang singkat dan dengan cara yang sederhana, maka timbul lah keinginan seseorang untuk melakukan kejahatan salah satunya kejahatan pencurian kendaraan bermotor. Berkaitan dengan faktor ekonomi yang berdampak pada beberapa faktor lain misal faktor pendidikan. Orang yang tergolong miskin akan identik dengan pendidikan yang rendah, karena dalam hidupnya tak mampu untuk membayar biaya pendidikan yang kian lama makin mahal. Karena berpendidikan rendah maka seseorang akan cenderung untuk menjadi pengangguran atau hanya memiliki pekerjaan apa adanya, sehingga hal ini bisa memengaruhi seseorang untuk memiliki penyakit moral atau kepribadian jahat demi mencapai suatu keinginannya. Teori sosialis mengemukakan bahwa kejahatan timbul karena adanya tekanan ekonomi yang tidak seimbang dalam masyarakat.

 

3.      Teori Sosiogenis

Teori ini menjelaskan bahwa penyebab tingkah laku jahat murni sosiologis atau sosial psikologis adalah pengaruh struktur sosial yang deviatif, tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial, atau internalisasi simbolis yang keliru. Teori ini mengungkapkan bahwa penyebab kejahatan karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan sekitarnya, baik lingkungan keluarga, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan serta penemuan teknologi. Teori ini mengarahkan kita bahwa orang memiliki kecenderungan bisa melakukan kejahatan karena proses meniru keadaan sekelilingnya atau yang lebih dikenal dengan proses imitation. [28]

 

Terjadinya kejahatan dalam hal ini dapat timbul akibat tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial atau internalisasi simbolis yang keliru. Terkait pembahasan dalam penelitian ini faktor yang terkait dengan timbulnya kejahatan adalah tekanan dari keluarga yang tidak terima terhadap perlakuan perawat pada pasien yang dirasa merugikan pasien dan keluarganya. Kejahatan dapat terjadi akibat oleh lingkungan yang buruk dan jahat, hal ini dapat saja terjadi pada pelaku kejahatan yang tinggal di lingkungan yang kurang baik dan mempunyai perilaku yang kurang baik dalam pergaulan hidupnya. Kejahatan dapat ditimbulkan oleh faktor lingkungan sekitarnya, baik lingkungan keluarga, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan serta penemuan teknologi. Terkait masalah dalam pembahasan ini, faktor yang menyebabkan kejahatan penganiayaaan pada petugas kesehatan dapat terkait dengan faktor lingkungan sekitarnya, khususnya lingkungan keluarga yang kurang dapat menahan emosi terhadap masalah yang muncul.

 

4.      Teori Subkultural Delikuensi

Menurut teori ini, perilaku jahat adalah sifat-sifat struktur sosial dengan pola budaya yang khas dari lingkungan dan masyarakat yang dialami oleh penjahat. Hal itu terjadi karena populasi yang padat, status sosial-ekonomis penghuninya rendah, kondisi fisik perkampungan yang sangat buruk, atau juga karena banyak disorganisasi familiar dan sosial bertingkat tinggi. Faktor ini bisa menjadi faktor penyebab terjadinya kejahatan, maksud dari faktor ini adalah penyebab kejahatan dilihat berdasarkan letak suatu daerah tertentu tempat terjadinya suatu kejahatan. Dalam hal ini faktor ini adalah terletak di luar dari diri pelaku kejahatan. Biasanya daerah perkotaan akan lebih rawan ketimbang di pedesaan untuk terjadinya suatu kejahatan, misalnya kejahatan terhadap harta benda, pencurian ataupun perampokan, hal ini terjadi karena biasanya orang-orang yang tinggal di perkotaan akan memikirkan strata sosial ketimbang keamanan dirinya, dengan memiliki pola hidup yang konsumtif dan cenderung foya-foya.[29]

 

Berdasarkan uraian di atas, maka menurut peneliti faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan penganiayaan terhadap tenaga kesehatan yang sedang bertugas adalah faktor emosi dan faktor lingkungan yang termasuk dalam teori biologis dan psikogenesis. Namun dalam penelitian ini faktor yang paling dominan adalah faktor emosi. Penganiayaan terhadap tenaga kesehatan oleh keluarga pasien seharusnya tidak perlu terjadi. Bila pasien mendapati kelalaian dokter, perawat, atau tenaga kesehatan lainnya, mereka bisa meminta pertanggung jawaban baik secara hukum perdata atau pidana sesuai undang-undang yang berlaku. Perawat memang tidak bisa lepas dari kesalahan atau kelalaian. Atas kesalahan atau kelalaian mereka, pasien bisa meminta pertanggung jawaban.

 

2.      Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Nomor 1076/Pid.B/PN Tjk.

 

Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah satu usaha untuk mencapai kepastian hukum kehakiman, di mana hakim merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur tercapainya suatu kepastian hukum. Pokok kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-undang Nomor 48 tahun 2009. Undang-undang Dasar 1945 menjamin adanya sesuatu kekuasaan kehakiman yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam penjelasan Pasal 24 ayat 1 dan penjelasan Pasal 1 Ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009, yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dan Undang-undang Negara Republik Indonesia tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Kemudian Pasal 24 Ayat (2) menegaskan bahwa: kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.

 

Hasil wawancara dengan Fitri Ramadhan selaku Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang menyatakan bahwa berdasarkan Perkara Nomor 1076/Pid.B/PN Tjk menyatakan Terdakwa I. Awang Helmi Christanto Bin Hi. Budiono, Terdakwa II. Novan Putra Abdillah, S.H., Bin Hi. Budiono dan Terdakwa III. Didit Maulana Bin Jayani tersebut diatas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana di muka umum secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap manusia sebagaimana dalam dakwaan alternatif kedua; Menjatuhkan pidana kepada Para Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara masing-masing selama 1 (satu) bulan; Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Para Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; Menetapkan Para Terdakwa tetap ditahan; Serta Menetapkan barang bukti berupa: 1 (satu) buah kacamata dengan bingkai warna hitam dikembalikan kepada Terdakwa I, 1 (satu) buah paving blok dirampas untuk dimusnahkan serta 1 (satu) buah flashdisk yang menyimpan rekaman video tetap terlampir dalam berkas perkara.

 

Hasil wawancara dengan Fitri Ramadhan selaku Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang menyatakan bahwa pada Perkara Nomor 1076/Pid.B/PN Tjk, hal-hal yang meringankan adalah tenaga kesehatan mengambil kebijakan sendiri tanpa menanyakan kepada Kepala Puskesmas yang seharusnya dapat dipinjamkan dengan tetap mengikuti SOP yang berlaku, saksi (dokter) melayani dengan kurang professional, terdakwa melakukan tindakan dengan perasaan kesal karena orang tua terdakwa meninggal dunia pada saat pandemi Covid-19. Sedangkan hal yang memberatkan adalah perbuatan terdakwa mengakibatkan orang lain mengalami luka.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


V.  KESIMPULAN DAN SARAN

 

 

A.    Kesimpulan

 

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa:

1.      Faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan penganiayaan terhadap tenaga kesehatan yang sedang bertugas di Puskesmas Kedaton Bandar Lampung adalah faktor emosi dan faktor lingkungan. Namun dalam penelitian ini faktor yang paling dominan adalah faktor emosi. Penganiayaan terhadap tenaga kesehatan oleh keluarga pasien seharusnya tidak perlu terjadi. Bila pasien mendapati kelalaian dokter, perawat, atau tenaga kesehatan lainnya, mereka bisa meminta pertanggung jawaban baik secara hukum perdata atau pidana sesuai undang-undang yang berlaku. Perawat memang tidak bisa lepas dari kesalahan atau kelalaian. Atas kesalahan atau kelalaian mereka, pasien bisa meminta pertanggungjawaban.

2.      Dasar pertimbangan Hakim dalam memutus Perkara Nomor 1076/Pid.B/PN Tjk adalah hal-hal yang meringankan adalah tenaga kesehatan mengambil kebijakan sendiri tanpa menanyakan kepada Kepala Puskesmas yang seharusnya dapat dipinjamkan dengan tetap mengikuti SOP yang berlaku, saksi (dokter) melayani dengan kurang professional, terdakwa melakukan tindakan dengan perasaan kesal karena orang tua terdakwa meninggal dunia pada saat pandemi Covid-19. Sedangkan hal yang memberatkan adalah perbuatan terdakwa mengakibatkan orang lain mengalami luka.

 

B.     Saran

 

Berdasarkan simpulan di atas, maka dapat diberikan saran antara lain:

1.      Penegak Hukum diharapkan untuk dapat mencari solusi terhadap faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan penganiayaan terhadap tenaga kesehatan, upaya tersebut dapat dilakukan dengan cara preventif seperti penyuluhan terhadap masyarakat bahwa penganiayaan masuk dalam ranah pidana dan akan menerima konsekuensi dari perbuatannya. Serta upaya represif yaitu dengan melakukan penyelidikan, penyidikan, penututan dan putusan pengadilan terhadap pelaku penganiayaan agar memberikan efek jera.

2.      Penegak Hukum dalam menangani kejahatan penganiayaan terhadap tenaga kesehatan yang sedang bertugas hendaknya lebih diutamakan kesepakatan damai dan penyelesaian secara kekeluargaan sebagai acuan untuk menerapkan pendekatan restorative justice bagi penganiayaan-penganiayaan ringan yang terdapat dalam KUHP sehingga dapat menekan jumlah terpidana di lembaga-lembaga pemasyarakatan.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

A.    BUKU-BUKU

 

A Qirom Samsudin M, Sumaryono E, 1985. Kejahatan Anak Suatu Tinjauan Dari Segi Psikologis dan Hukum, Liberti, Yogyakarta.

 

Abdul Kadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung.

 

Barda Nawawi Arief. 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

 

Bonger, 1981, Pengantar Tentang Kriminologi, PT. Pembangunan Ghalia Indonesia, Jakarta.

 

Leden Marpaung, 2002, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantas Dan Prevensinya), Sinar Grafika, Jakarta.

 

Muladi, 1985, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung.

 

Purwadarminta, 1999, Kamus Besar Bahasa Indonesia  Balai Pustaka, Jakarta.

 

Romli Atmasasmita, 1992, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Tarsito, Bandung.

 

Seodjono D, 1976, Penanggulangan Kejahatan (Crime Prevention), Alumni, Bandung.

 

Simanjuntak B dan Chairil Ali, 1980, Cakrawala Baru Kriminologi, Trasito, Bandung.

 

Soedarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

 

Soerjono Soekanto, 2004, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta. 

 

Sudikno Mertokusumo, 2006, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Penerbit Liberty, Yogyakarta.

 

 

B.     PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

 

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakukan Peraturan Hukum Pidana di Seluruh Indonesia (KUHP).

 

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

 

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

 

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

 

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

 

Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan.

 

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 yang kemudian diperbaharuhi dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP.

 

C.    SUMBER LAIN

 

Denza Perdana, 2022, Tidak Perlu Kekerasan, Pasien Bisa Lakukan Ini kalau Ada Kelalaian Perawat, diakses dari https://www.suarasurabaya.net/senggang/2021/tidak-perlu-kekerasan-pasien-bisa-lakukan-ini-kalau-ada-kelalaian-perawat/.

 

Ega Yudha, https://www.jpnn.com/news/soal-kasus-penganiayaan-perawat-puskesmas-kedaton-polisi-bilang-begini, Tanggal 4 Maret 2022, Pukul 12.10 WIB.



[1] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2006, hlm. 79.

[3] Denza Perdana, Tidak Perlu Kekerasan, Pasien Bisa Lakukan Ini kalau Ada Kelalaian Perawat, diakses dari https://www.suarasurabaya.net/senggang/2021/tidak-perlu-kekerasan-pasien-bisa-lakukan-ini-kalau-ada-kelalaian-perawat/, Tanggal 3 Maret 2022, Pukul 07.35 WIB.

[4] Purwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia  Balai Pustaka, Jakarta, 1999, hlm. 75.

[5] Ibid, hlm. 45.

[6] Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm 23

[7] Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantas Dan Prevensinya), Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 5.

[9] Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2016,hlm.140.

[10] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHP, Sinar Grafika. Jakarta, 2009, hlm. 99

[11] Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantas dan Prevensinya), Sinar Grafika, Jakarta 2002, hlm 5.

[12] Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Tarsito, Bandung, 1992, hlm. 32.

[13] Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 61.

[14] Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 113

[15] Seodjono D, Penanggulangan Kejahatan (Crime Prevention), Alumni, Bandung, 1976, hlm. 31

[16] A Qirom Samsudin M, Sumaryono E, Kejahatan Anak Suatu Tinjauan Dari Segi Psikologis dan Hukum, Liberti, Yogyakarta, 1985, hlm 46

[17] Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, PT. Pembangunan Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hlm. 15

[18] Soejono Soekanto, Op.Cit, hlm.32

[19] Simanjuntak B dan Chairil Ali, Cakrawala Baru Kriminologi, Trasito, Bandung, 1980, hlm. 399

[20]   Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, 2004, hlm. 43. 

[21]   Ibid, hlm. 44. 

[22] Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2004, hlm. 8-9.

[23] Indah Sri Utari. 2016.  Due Proces of law (Proses Hukum Yang Adil Dalam Proses Peradilan), Thafa Media, Semarang, hlm. 1.

[24] Adami Chazawi. 2012.  Percobaan dan Penyertaan dalam Hukum Pidana .Pelajaran Hukum. Pidana Bagian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 2-3.

[25] Yulies Tiena Masriani,  Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,  2014, hlm. 60.

[26] Anang Priyanto, Kriminologi, Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2012, hlm 19

[27] Indah Sri Utami, Aliran dan Teori dalam Kriminologi , Thafa Media, Yogyakarta, 2012, hlm 48.

[28] Ende Hasbi Nassarudin, Kriminologi , CV Pustaka Setia, Bandung, 2016, hlm 121-122.

[29] Chandra Adiputra, Kriminologi dan Kejahatan, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2014, hlm. 56

Tidak ada komentar: