MAKALAH
PERATURAN
DAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MELANDASI TUGAS, FUNGSI DAN PRAKTIK BIDAN
Dosen pengampu :
POLITEKNIK
KESEHATAN TANJUNG KARANG
JURUSAN
KEBIDANAN PRODI D-III KEBIDANAN
TANJUNG
KARANG
TAHUN
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepadat
Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Etika Profesi dan Perundang-undangan
ini dengan tepat waktu yang berjudul “Perundangan yang Melandasi
Tugas, Praktik, dan Fungsi Bidan”.
Kami
menyadari bahwa makalah
ini masih kurang
sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah selanjutnya.
Besar harapan kami semoga makalah ini
dapat bermanfaat sebagai informasi ataupun pengetahuan
bagi pembaca dan dapat menjadi literatur guna membantu mahasiswa dalam belajar mata kuliah Dokumentasi Kebidanan.
Bandar Lampung, Oktober 2022
Penyusun
SAMPUL.................................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang........................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah...................................................................... 1
1.3
Tujuan......................................................................................... 2
BAB III PEMBAHASAN
1.
Peraturan perundang-undangan yang melandasi tugas, fungsi dan praktik
bidan 3
2.
kepmenkes ri no.900/menkes/sk/vii/2002 tentang
registrasi dan praktik
bidan 4
3.
no. 23 tahun 1992 bab iv tentang tugas dan tanggung
jawab tenaga kesehatan 6
4.
keputusan menteri
kesehatan republik indonesia nomor 369/menkes/sk/iii/2007 7
5.
peraturan menteri
kesehatan republik indonesia nomor hk.02.02/menkes/149/2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik bidan............................................................. 9
6.
permenkesri no. 1464/menkes/sk/x/2010 tentang ijin dan penyelenggaraan praktek
bidan 16
7.
undang-undang tentang
aborsi............................................................ 16
8.
undang-undang no.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan 19
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan......................................................................................... 21
3.2
Saran 21
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 22
BAB I
Tujuan pembangunan kesehatan di Indonesia adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat setiap individu agar terwujud
derajat kesehatan yang optimal
seperti diamanatkan Undang- Undang no. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Seperti kita ketahui bahwa kaidah hukum
diperlukan dalam mengatur hubungan antar manusia di segala aspek kehidupannya, sehingga
tidak mengherankan pada saat ini, masalah
hukum pun memasuki bidang profesi kebidanan.(Dra. Hj. Suryani Soepardan, Dipl.M,
MM & Dadi Anwar Hadi, SH, 2008, 112)
Dalam melaksanakan profesinya, semua tenaga kesehatan
termasuk tenaga bidan
tidak dapat melepaskan seluruh rangkaian tugas profesional dari lingkup
hukum, terutama hukum kesehatan.
Bidan harus menyadari bahwa dalam menjalankan tugasnya, mereka tidak saja bertanggung jawab secara
kesehatan kepada pasien, namun juga bertanggung jawab di bidang hukum. .(Dra. Hj. Suryani Soepardan, Dipl.M, MM
& Dadi Anwar Hadi, SH, 2008, hal. 112 & 113)
Hukum kesehatan adalah rangkaian
peraturan perundang-undangan dalam bidang kesehatan yang mengatur tentang pelayanan
medik dan sarana medik. Bidan diharuskan memenuhi
persyaratan dan perizinan untuk melaksanakan praktek, praktek kebidanan dikatakan
baik apabila memenuhi
standar kompetensi praktek
kebidanan.(Heni Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 77, 78)
Apa sajakah peraturan
perundang-undangan yang mengatur
Perundang-Undangan yang Melandasi Tugas, Fungsi dan Praktek bidan?
Tujuan makalah ini adalah agar
mahasiswa dapat memahami masalah Peraturan dan
Perundang-Undangan yang Melandasi
Tugas, Fungsi dan Praktek bidan sehingga mahasiswa
dapat mengatasi masalah dengan tanggung
jawab tenaga kesehatan.
BAB II
2.1
Peraturan Perundang-Undangan Yang Melandasi Tugas,
Fungsi Dan Praktik Bidan
Hukum kesehatan adalah rangkaian peraturan
perundang-undangan dalam bidang kesehatan
yang mengatur tentang pelayanan medic dan sarana medis. Perumusan hukum kesehatan mengandung pokok-pokok pengertian sebagai berikut:(Heni Puji Wahyuningsih,
2006, hal. 77)
a.
Kesehatan menurut WHO, adalah
keadaan yang meliputi kesehatan badan, jiwa dan sosial, bukan hanya keadaan bebas dari penyakit, cacat dan
kelemahan. Adapun istilah kesehatan
dalam undang-undang Kesehatan No.23 Tahun 1992 adalah keadaan sejahtera (well being) badan, jiwa dan
sosial, yang memungkinkan seseorang hidup produktif
secara ekonomi dan sosial. (Heni
Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 77)
b.
Upaya kesehatan adalah setiap
kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat.(Heni Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 77)
c.
Tenaga kesehatan adalah setiap
orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang
untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.(Heni Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 78)
d.
Tenaga kesehatan meliputi tenaga
kesehatan sarjana, sarjana muda. Adapun yang
dimaksud tenaga kesehatan adalah tenaga kesehatan pada tingkat sarjana
dan sarjana muda. Di bidang
kebidanan adalah bidan yang terdiri dari diploma tiga dan empat kebidanan.(Heni Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 78)
e.
Sarana medis meliputi rumah sakit
umum, rumah sakit khusus, rumah sakit bersalin, prkatik berkelompok, balai pengobatan atau klinik dan sarana
lain yang ditetapkan menteri kesehatan.(Heni Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 78)
f.
Sarana kesehatan adalah tempat yang
digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.(Heni
Puji Wahyuningsih, 2006, hal.
78)
g.
Transplantasi adalah rangkaian
tindakan medis utnuk memindahkan organ dan atau jaringa tubub manusia yang berasal dari tubuh seseorang lain
atau tubuh sendiri dalam rangka
pengobatan untuk menggantikan organ dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dnegan baik.(Heni Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 78)
2.2 KEPMENKES RI NO.900/MENKES/SK/VII/2002 TENTANG
REGISTRASI DAN PRAKTIK
BIDAN
Merupakan revisi dari Permenkes No.
572/Menkes/Per/VI/1996 yang mengatur tentang
registrasi dan praktik bidan. Kepmenkes ini terdiri dari 11 bab dan 47
pasal.(Heni Puji Wahyuningsih, 2006,
hal. 78)
i.
Bab I Ketentuan
umum
ii.
Bab II Pelaporan
dan registrasi
iii.
Bab III Masa bakti
iv.
Bab IV Perizinan
1)
Pasal 9
a)
Bidan yang menjalankan praktik harus memiliki
SIPB.
b)
Bidan dapat menjalankan praktik
pada sarana kesehatan
dan/atau perorangan.
(Heni Puji Wahyuningsih,
2006, hal. 154)
2)
Pasal 10
a.
SIPB
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat. (Heni Puji
Wahyuningsih, 2006, hal. 154)
b.
Permohonan
Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan melampirkan persyaratan, antara lain meliputi:
a)
fotokopi SIB yang masih berlaku;
b)
fotokopi ijazah Bidan;
c)
surat persetujuan atasan, bila dalam pelaksanaan masa bakti atau sebagai pegawai negeri atau pegawai pada sarana kesehatan.
d)
surat keterangan sehat
dari dokter;
e)
rekomendasi dari organisasi profesi;
f) pas foto 4
X 6 cm sebanyak 2 (dua)
lembar.
(Heni Puji Wahyuningsih,
2006, hal. 155)
c.
Rekomendasi yang diberikan
organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, setelahterlebih dahulu dilakukan penilaian
kemampuan keilmuan dan keterampilan, kepatuhan
terhadapkode etik profesi
serta kesanggupan melakukan
praktik bidan. (Heni Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 155)
3) Pasal 11
d.
SIPB berlaku sepanjang SIB belum habis masa berlakunya dan dapat diperbaharui kembali. (Heni Puji
Wahyuningsih, 2006, hal. 155)
a.
Pembaharuan SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dengan melampirkan :
(a)
fotokopi SIB yang masih berlaku;
(b)
fotokopi SIPB yang lama;
(c)
surat keterangan sehat
dari dokter;
(d)
pas foto 4 X 6 cm sebanyak 2(dua)
lembar;
(e)
rekomendasi dari organisasi
profesi; (Heni Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 155)
4)
Pasal 12
e. Bidan pegawai
tidak tetap dalam rangka
pelaksanaan masa bakti tidak
memerlukan SIPB. (Heni Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 156)
5)
Pasal 13
Setiap bidan yang menjalankan praktik
berkewajiban meningkatkan kemampuankeilmuan dan/atau keterampilannya
melalui pendidikan dan/atau pelatihan.
(Heni Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 156)
v.
Bab V Praktik
Bidan
1)
Pasal 14
Bidan dalam menjalankan praktiknya berwenang untuk memberikan pelayanan yang meliputi :
a. pelayanan kebidanan;
b. pelayanan keluarga
berencana;
c.
pelayanan kesehatan masyarakat.
(Heni Puji Wahyuningsih,
2006, hal. 156)
2)
Pasal 15
a.
Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 huruf a ditujukan kepada ibu dan anak.
b.
Pelayanan kepada ibu diberikan
pada masa pranikah,
prahamil, masa kehamilan, masa persalinan, masa nifas, menyusui
dan masa antara (periode
interval).
c.
Pelayanan kebidanan kepada anak
diberikan pada masa bayi baru lahir, masa
bayi, masa anak balitadan masa pra sekolah.
(Heni Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 156)
vi.
Bab VI Pencatatan dan pelaporan
vii.
Bab VII Pejabat
yang berwenang mengeluarkan dan mencabut ijin praktik.
viii.
Bab VIII Pembinaan dan pengawasan
ix.
Bab IX Sanksi
x.
Bab X Ketentuan peralihan
xi.
Bab XI Ketentuan penutup.
2.3 NO. 23 TAHUN 1992 BAB IV TENTANG TUGAS DAN TANGGUNG
JAWAB TENAGA KESEHATAN
Pasal 6
Pemerintah bertugas mengatur, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan.
Pasal 7
Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.
Pasal 8
Pemerintah bertugas menggerakkan peran serta masyarakat
dalam menyelenggarakan dan pembiayaan kesehatan, dengan memperhatikan fungsi sosial sehingga
pelayanan kesehatan bagi
masyarakat yang kurang
mampu tetap terjamin.
Pasal 9
Pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat. (Heni Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 140)
2.4 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 369/MENKES/SK/III/2007
Secara Umum Isi Kepmenkes ini
mencakup : Definsi dan pengertian bidan, asuhan kebidanan, praktek bidan dan standar
kompetensi bidan (pengetahuan maupun keterampilan). Hal-hal
tersebut yang mendasari
praktek bidan. Praktek
kebidanan dikatakan baik apabila memenuhi
standar kompetensi sebagia berikut
:
(Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, 2007, hal.3)
1)
STANDAR KOMPETENSI BIDAN
Kompetensi ke 1 : Bidan mempunyai persyaratan
pengetahuan dan keterampilan dari ilmu-ilmu
sosial, kesehatan masyarakat dan etik yang membentuk dasar dari asuhan yang bermutu tinggi sesuai dengan budaya, untuk wanita, bayi baru lahir dan keluarganya. (Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2007, hal. 10)
2) PRA KONSEPSI, KB, DAN GINEKOLOGI
Kompetensi ke-2 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu
tinggi, pendidikan kesehatan yang tanggap terhadap budaya dan
pelayanan menyeluruh dimasyarakat dalam rangka untuk meningkatkan kehidupan keluarga yang sehat, perencanaan kehamilan dan kesiapan menjadi orang tua. (Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2007, hal. 11)
3) ASUHAN DAN KONSELING SELAMA
KEHAMILAN
Kompetensi ke-3 : Bidan memberi
asuhan antenatal bermutu
tinggi untuk mengoptimalkan kesehatan selama kehamilan
yang meliputi: deteksi dini, pengobatan atau
rujukan dari komplikasi tertentu. (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2007, hal. 12)
4) ASUHAN SELAMA
PERSALINAN DAN KELAHIRAN
Kompetensi ke-4 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu
tinggi, tanggap terhadap kebudayaan
setempat selama persalinan, memimpin selama persalinan yang bersih dan aman, menangani situasi kegawatdaruratan tertentu
untuk mengoptimalkan kesehatan wanita dan bayinya
yang baru lahir. (Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2007, hal.
15)
5)
ASUHAN PADA IBU NIFAS DAN MENYUSUI
Kompetensi ke-5 : Bidan memberikan asuhan pada ibu nifas
dan mneyusui yang bermutu tinggi dan
tanggap terhadap budaya setempat. (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2007, hal. 17)
6) ASUHAN PADA BAYI BARU LAHIR
Kompetensi ke-6 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu
tinggi, komperhensif pada bayi baru lahir sehat sampai dengan
1 bulan. (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2007, hal. 18)
7) ASUHAN PADA BAYI DAN BALITA
Kompetensi ke-7 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu
tinggi, komperhensif pada bayi dan balita sehat (1 bulan – 5 tahun). (Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, 2007, hal. 20)
8) KEBIDANAN KOMUNITAS
Kompetensi ke-8 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu
tinggi dan komperhensif pada
keluarga, kelompok dan masyarakat sesuai dengan budaya setempat. (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2007, hal. 21)
9)
ASUHAN PADA IBU/WANITA DENGAN
GANGGUAN REPRODUKSI Kompetensi ke-9 : Melaksanakan asuhan kebidanan pada wanita/ibu dengan
gangguan sistem reproduksi. (Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, 2007, hal. 22)
2.5 PERATURAN MENTERI
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR HK.02.02/MENKES/149/2010 TENTANG
IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK BIDAN
Dalam peraturan ini, berisi mengenai ketentuan-ketentuan yang harus di lakukan bidan untuk menyelenggarakan praktek
kebidanan sesuai dengan standar kebidanan yang
ada. Ketentuan-ketentuan tersebut secara khusus diatur yaitu mengenai
perizinan dan penyelenggaraan
praktik. Yang tertuang pada BAB II dan III sebagai berikut.(Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010, hal. 3)
a.
BAB II PERIZINAN
1) Pasal 2
Bidan dapat menjalankan praktik pada fasilitas
pelayanan kesehatan. Fasilitas
pelayanan kesehatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi
fasilitas pelayanan kesehatan di luar
praktek mandiri dan/atau praktik mandiri. .(Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010, hal. 3)
Bidan yang menjalankan praktik mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpendidikan minimal Diploma III (D III) kebidanan. .(Menteri
Kesehatan Republik Indonesia,
2010, hal. 3)
2)
Pasal 3
Setiap bidan yang menjalankan praktek wajib memiliki
SIPB.(Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, 2010, hal. 3)
Kewajiban memiliki SIPB dikecualikan bagi bidan yang
menjalankan praktik pada fasilitas
pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri atau Bidan yang menjalankan tugas pemerintah sebagai Bidan Desa.
.(Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010, hal. 3)
3)
Pasal 4
SIPB sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1)
dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota. SIPB berlaku
selama STR masih berlaku. .(Menteri
Kesehatan Republik Indonesia,
2010, hal. 3)
4)
Pasal 5
Untuk memperoleh SIPB sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4, bidan harus mengajukan permohonan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan melampirkan:
a. Fotocopi STR yang masih berlaku dan dilegalisir
b. Surat keterangan sehat fisik dari Dokter yang memiliki Surat
Izin Praktik;
c. Surat pernyataan memiliki tempat praktik
d. Pasfoto berwarna
terbaru ukuran 4×6 sebanyak 3 (tiga ) lembar; dan
e. Rekomendasi dari Organisasi Profesi
.(Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2010, hal. 3)
Surat permohonan memperoleh SIPB sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), sebagaimana
tercantum dalam Formulir I (terlampir). .(Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010, hal. 3)
SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan
untuk 1 (satu) tempat praktik. .(Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, 2010, hal. 3)
SIPB sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) sebagaimana tercantum dalam Formulir II terlampir. .(Menteri Kesehatan Republik Indonesia,
2010, hal. 3)
5) Pasal 6
Bidan dalam menjalankan praktik
mandiri harus memenuhi persyaratan meliputi tempat praktik dan peralatan
untuk tindakan asuhan kebidanan. Ketentuan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum
dalam lampiran peraturan
ini. Dalam menjalankan praktik mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bidan wajib memasang
nama praktik kebidanan. (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010, hal. 3)
6) Pasal 7
SIPB dinyatakan tidak berlaku karena:
1.
Tempat praktik tidak sesuai lagi dengan SIPB
2.
Masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang
3.
Dicabut atas perintanh pengadilan
4.
Dicabut atas rekomendasi Organisasi Profesi
5.
Yang bersangkutan meninggal
dunia
(Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, 2010, hal. 4)
b.
BAB III PENYELENGGARAAN PRAKTIK
1. Pasal 8
Bidan dalam menjalankan praktik berwenang untuk
memberikan pelayanan meliputi:
(a) Pelayanan kebidanan
(b)
Pelayanan reproduksi perempuan; dan
(c)
Pelayanan kesehatan masyarakat
(Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, 2010, hal. 4)
2. Pasal 9
Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a ditujukan
kepada ibu dan bayi.
Pelayanan kebidanan kepada ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pada masa kehamilan,
masa persalinan, masa nifas dan
masa menyusui.
Pelayanan kebidanan pada bayi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
pada bayi baru lahir normal sampai usia 28 (dua puluh delapan)
hari.
(Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2010, hal. 4)
3.
Pasal 10Pelayanan kebidanan kepada ibu sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (2) meliputi:
(a)
Penyuluhan dan konseling (b).Pemeriksaan fisik
(c) Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
(d) Pertolongan persalinan normal
(e)
Pelayanan ibu nifas normal
(Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2010, hal. 4)
Pelayanan kebidanann kepada bayi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) meliputi:
(a) Pemeriksaan bayi baru lahir
(b)
Perawatan tali pusat
(c) Perawatan bayi
(d) Resusitasi pada bayi baru lahir
(e) Pemberian imunisasi bayi dalam rangka menjalankan
tugas pemerintah; dan
(f) Pemberian penyuluhan
(Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2010, hal. 5)
4. Pasal 11
Bidan dalam memberikan
pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a berwenang untuk:
a.
Memberikan imunisasi dalam
rangka menjalankan tugas
pemerintah
b.
Bimbingan senam hamil
c.
Episiotomi
d.
Penjahitan luka episiotomy
e.
Kompresi bimanual dalam rangka
kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan
perujukan;
f. Pencegahan anemi
g.
Inisiasi menyusui dini dan promosi
air susu ibu eksklusif
h.
Resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfiksia
i.
Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk;
j.
Pemberian minum dengan sonde/pipet
k.
Pemberian obat bebas, uterotonika untuk postpartum dan manajemen aktif
kala III;
l.
Pemberian surat keterangan kelahiran
m.
Pemberian surat keterangan hamil
untuk keperluan cuti melahirkan (Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, 2010, hal. 5)
5. Pasal 12
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 8
huruf b, berwenang untuk;
a) Memberikan alat kontrasepsi oral, suntikan dan alat kontrasepsi dalam rahim dalam rangka menjalankan tugas pemerintah, dan kondom;
b)
Memasang alat kontrasepsi dalam
rahim di fasilitas
pelayanan kesehatan pemerintah dengan supervisi dokter;
c) Memberikan penyuluhan/konseling pemilihan kontrasepsi
d)
Melakukan pencabutan alat kontrasepsi dalam rahim di fasilitas pelayanan
kesehatan pemerintah; dan
e)
Memberikan konseling dan tindakan pencegahan kepada perempuan pada masa pranikah dan prahamil.
(Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, 2010, hal. 5)
6. Pasal 13
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf c, berwenang untuk:
a. Melakukan pembinaan
peran serta masyarakat dibidang kesehatan ibu dan bayi;
b. Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas; dan
c.
Melaksanakan deteksi dini, merujuk
dan memberikan penyuluhan Infeksi Menular
Seksual (IMS), penyalahgunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) serta penyakit
lainnya.
(Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010, hal. 6)
7. Pasal 14
Dalam keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa
seseorang/pasien dan tidak ada dokter
di tempat kejadian, bidan dapat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8.
Bagi bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak
memiliki dokter, dalam rangka
melaksanakan tugas pemerintah dapat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 8.
Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) adalah kecamatan atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Dalam hal daearah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
telah terdapat dokter, kewenangan
bidan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) tidak berlaku.
(Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, 2010, hal. 6)
8. Pasal 15
Pemerintah daerah menyelenggarakan pelatihan bagi bidan yang memberikan pelayanan di daerah
yang tidak memiliki
dokter
Pelatihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diseleenggarakan sesuai
dengan modul Modul Pelatihan yang ditetapkan oleh
Menteri.
Bidan yang lulus pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memperoleh sertifikat.
(Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, 2010, hal. 6)
9. Pasal 16
Pada daerah yang tidak memiliki dokter, pemerintah
daerah hanya menempatkan Bidan dengan
pendidikan Diploma III kebidanan atau bidan dengan pendidikan Diploma I kebidanan yang telah mengikuti
pelatihan. (Menteri Kesehatan Republik Indonesia,
2010, hal. 6)
10. Pasal 17
Bidan dalam menjalankan praktik harus membantu
program pemerintah dalam
meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. (Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2010, hal.
6)
11. Pasal 18
1. Dalam menjalankan praktik, bidan berkewajiban untuk:
a. Menghormati hak pasien
b. Merujuk kasus yang tidak
dapat ditangani dengan tepat waktu.
c.
Menyimpan rahasia kedokteran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. Memberikan informasi
tentang masalah kesehatan
pasien dan pelayanan yang dibutuhkan;
e. Meminta persetujuan tindakan kebidanan yang akan dilakukan;
f. Melakukan pencatatan asuhan kebidanan secara
sistematis;
g. Mematuhi standar;
dan
h. Melakukan
pelaporan penyelenggaraan praktik kebidanan termasuk pelaporan kelahirana dan kematian.
(Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2010, hal. 7)
2. Bidan dalam menjalankan praktik
senantiasa meningkatkan mutu pelayanan profesinya, dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya. (Menteri
Kesehatan Republik Indonesia,
2010, hal. 7)
12. Pasal 19
Dalam melaksanakan praktik, bidan mempunyai
hak:
a.
Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan praktik
sepanjang sesuai dengan standar profesi
dan standar pelayanan;
b. Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien dan/ atau keluarganya;
c.
Melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan, standar profesi dan standar pelayanan; dan
d.
Menerima imbalan
jasa profesi.
(Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2010, hal. 7)
2.6 Permenkes RI No. 1464/Menkes/SK/X/2010 TENTANG IJIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTEK
BIDAN
Secara Garis Besar Permenkes RI no. 1464 ini merupakan pembaruan dari Permenkes No.149, hanya beberapa
perbedaan yaitu :
1.
Pada Pasal II ayat 2 ditiadakan
2. Terdapat Revisi
pada pasal III menjadi 3 ayat
3.
Setiap bidan yang bekerja di fasilitas
kesehatan pelayanan kesehatan
wajib memiliki SIKB
4. Setiap bidan yang menjalankan praktek wajib memiliki
SIPB
5. SIKB dan SIPB sebagaimana di maksud ayat 1 dan 2 berlaku
untuk satu tempat.
6. Terdapat Revisi
pada Pasal 4, 5
7. Pasal 8 pada permenkes ini masuk Pada Bab III
8.
Bab III direvisi sampai dengan
Pasal 19 (Menteri Kesehatan Republik Indonesia,2010, hal. 3)
2.7 UNDANG-UNDANG TENTANG
ABORSI
Abortus adalah keluarnya hasil konsepsi sebelum
janin mampu hidup diluar rahim,
yaitu sebelum 20 minggu. Aborsi
juga berarti penghentian kehamilan setelah
tertanamnya ovum yang telah dibuahi
dalam rahim sebelum
usia janin mencapai
20 minggu.(Heni Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 79)
Macam-macam abortus :
a.
Abortus spontaneous
Yaitu abortus yang terjadi tanpa disengaja.
b.
Abortus provocatus
Abortus yang dilakukan dengan sengaja atau dibuat, ada dua macam abortus provocatus, yaitu :
1.
Abortus provocatus therapiticua
Abortus provocatus
kriminalis (Heni Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 79)
Dasar hukum abortus
adalah sebagai berikut :
a.
HP Bab XIX tentang Kejahatan terhadap nyawa orang
1) KUHP Pasal 299
Ayat 1 memberikan harapan dan digugurkan dihukum 4 tanun penjara. (Heni Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 79)
Ayat 2 Mengambil
keuntungan dari pengguguran tersebut hukuman 4 tahun penjara ditambah sepertiganya.
Ayat 3 Menggugurkan kandungan orang menjadi
suatu profesi, dicabut
haknya dan dipidana pendara.
(Heni Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 80)
2) KUHP Pasal 322
Ayat 2 Pengguguran dikerjakan hanya orang tertentu tergantung atas pengaduan itu.
3)
KUHP Pasal 436
Seorang wanita dengan
sengaja menggugurkan kandungannya, dihukum 4 tahun.
4)
KUHP Pasal 347
Sengaja menggugurkan hingga menyebabkan kematian
dihukum maksimal 15 tahun.
5)
KUHP Pasal 348
Senggaja menggugurkan dan atas persetujuan pasien maka dihukum
maksimal 7 tahun
6)
KUHP Pasal 349
Seorang dokter, bidan dan apoteker membantu kejahatan
tersebut, dapat dicabut haknya.
(Heni Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 80)
b.
Undang-undang Kesehatan NO. 23 Tahun
1992
1. Pasal 15 ayat 1
Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan
jiwa ibu hamil dan atau janinnya,
dapat dilakukan tindakan medis tertentu. (Heni Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 80)
2. Pasal 15 ayat 2
Tindakan medis tertentu
sebagaimana dimaksut dalam
ayat 1 hanya dapat dilakukan :
a.
Berdasarkan indikasi mendis
yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut.
b.
Oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu
dilakukan sesuai dengan tanggungjawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli.
c.
Dengan persetujuan
bu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarga.
d.
Pada sarana kesehatan
tertentu.
(Heni Puji Wahyuningsih,
2006, hal. 80)
3.
Pasal 15 ayat 3 ketentuan lebih
lanjut mengenai tindakan medis tertentu sebagai mana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 ditetapkan dengan
peraturan pemerintah. (Heni Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 81)
Penjelasan dari undang-undang tersebut diatas adalah,
bahwa tindakan medis dalam bentuk
appaun pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan norma hokum, norma
agama, norma kesusilaan, norma
kesopanan. Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya
dapat diambil tindakan medis tertentu. (Heni
Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 81)
Indikasi medis
adalah suatu kondisi yang benar-benar menghasruskan diambil tindakan medis tertentu, sebab tanpa
tindakan medis tertentu itu, ibu hamil dan atau janinnya
terancam bahaya maut. (Heni
Puji Wahyuningsih, 2006,
hal. 81)
Tenaga kesehatan
yang dapat melakukan tindakan medis tertentu adalah tenaga kesehatan yang memiliki keahkian dan kewenangan untuk
melakukannya yaitu seorang dokter
ahli kebidanan dan penyakit kandungan. Sebelum melakuakn tindakan medis tertentu tenaga kesehatan harus terlebih dahulu
meminta pertimbangan tim ahli yang
dapat terdiri dari berbagai bidang seperti medis, agama, hokum, dan psikologi. (Heni Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 81)
Hak utama untuk
memberikan persetujuan ada pada ibu hamil yang
bersangkutan, kecuali dalam keadaan tidak sadar atau tidak dapat memberikan persetujuannya, dapat diminta dari suami
atau keluarganya. (Heni Puji Wahyuningsih,
2006, hal. 81)
Sarana kesehatan
tertentu adalah sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan peralatan antara lain yang memadai untuk
tindakan tersebut dan ditunjuk oleh pemerintah.
(Heni Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 81)
4.
Ketentuan pidana pasal 80 ayat 1
adalah barang siapa dengan sengaja melakukan
tindakan medit tertentu kepada ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 15 ayat 1 dan
ayat 2, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). (Heni Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 81 & 82)
5.
Barang siapa denga sengaja
menghimpun dana dari masyarakat untuk menyelenggarakan
pemeliharaan kesehatan, yang tidak terbentuk badan hokum dan tidak memiliki izin operasional serta tidak melaksakan
ketentuan tentang jaminan
pemeliharaan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pasal 66 ayat 2 dan ayat 3 dipidana penjara paling
lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak
Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). (Heni Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 82)
2.8 UNDANG-UNDANG NO.13
TAHUN 2003 TENTANG
KETENAGAKERJAAN
Bidan termasuk kategori tenaga kerja
yang mempunyai peranan dan kedudukan yang sangata
penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Sebagai unsur tenaga kerja, bidan juga berhak memperoleh perlindungan tenaga kerja sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan. Bidan sebagai
tenaga kerja juga berhak mendapat
perlindungan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja atau buruh dan menjamin
kesamaan kesempatan serta perlakuan
tanpa diskriminasi. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun masyarakat. Sehingga bidan
memebuhi kaidah unsur sebagai tenaga kerja. (Heni Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 85)
a.
Pasal 81 ayat 1 pekerja atau buruh
perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit
dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua haid. (Heni Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 85)
b. Pasal
81 ayat 2 pelaksaaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dalam perjajian kerja, peraturan
perusahaaan atau perjanjian kerja bersama. (Heni Puji Wahyuningsih, 2006,
hal. 85)
c. Pasal
82 ayat 1 Pekerja atau buruhperempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak
dan 1,5 bulan sesudah melairkan menurut
perhitungan dokter kandungan atau bidan. (Heni Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 85)
d. Pasal
82 ayat 2 Pekerja atau buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirat 1,5
bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter
kandungan atau bidan. (Heni Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 85)
e.
Pasal 83 Pekerja atau buruh
perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus
dilakukan selama waktu bekerja. (Heni Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 86)
f.
Pasal 84 Setiap pekerja atau buruh
yang menggunakan hal waktu istirahatnya mendapat upah atau
gaji penuh. (Heni Puji Wahyuningsih, 2006, hal. 86)
BAB III
Bidan sebagai profesi yang telah
memiliki standar praktik untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat yang telah diatur dalam perundang-undangan yang ada. Adapun peraturan
perundang-undangan yang mengatur perundang-undangan yang melandasi tugas, fungsi
dan praktek bidan :
a)
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN RI No. 900/ Menkes/SK/VII/2002 TENTANG
REGISTRASI DAN PRAKTIK BIDAN
b)
NO. 23 TAHUN 1992 TENTANG TUGAS DAN
TANGGUNG JAWAB TENAGA KESEHATAN
c)
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 369/MENKES/SK/III/2007 TENTANG
STANDAR PROFESI BIDAN
d)
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/149/2010 TENTANG
IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK BIDAN
e)
Permenkes RI No. 1464/Menkes/SK/X/2010 TENTANG
IJIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTEK BIDAN
f)
UNDANG-UNDANG TENTANG ABORSI
Diharapkan dengan adanya makalah ini selain menjadi
salah satu referensi juga diharapkan bisa
sebagai panduan secara teori mengenai peraturan perundang-undangan yang
mengatur Perundang-Undangan yang Melandasi Tugas, Fungsi dan Praktek bidan.
Puji Heni, Wahyuni, 2009. Etika Profesi Kebidanan; Fitramaya;
Yogyakarta Soepardan, Suryani, dkk.
2007. Etika Kebidanan dan Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC Bertens, K. 2007.
Etika (cetakan kesepuluh).
Jakarta: Gramedia Pustaka
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
369/MENKES/SK/III/2007
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
HK.02.02/MENKES/149/2010
Permenkes RI No. 1464/Menkes/SK/X/2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar