TUGAS MAKALAH MATA KULIAH ETIKA PROFESI
“
CONTOH KASUS MALPRAKTEK YANG BERKAITAN DEENGAN ETIKA PROFESI DAN HUKUM
KEDOKTERAN ”
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh:
JURUSAN ANALIS KESEHATAN POLTEKKES TANJUNGKARANG TAHUN
AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.Puji Syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena
berkat rahmat dankarunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini.
Shalawat beriringsalam tidak lupa penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW
yang selalumengajarkan kita untuk senantiasa menuntut ilmu. Makalah ini
berjudul “Contoh Kasus
Malpraktek Yang Berkaitan Deengan Etika Profesi Dan Hukum Kedokteran” yang disusun dari
berbagai sumber tulisan.Penulis menyadari
bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersi/at membangun darisegala pihak.
Namun besar harapan penulis sem0ga makalah ini berguna bagi penulis
dan segala pihak yang memba1anya. Amin.Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bandar Lampung, 06 Desember 2021
Penyusun
i
DAFTAR ISI
2.1 Pengertian Malpraktek.................................................................................... 5
2.2
Asas
asas hukum........................................................................................... 10
·
Analisi
Kasus........................................................................................... 13
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan...................................................................................................... 16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Meningkatnya kesadaran
masyarakat akan hak-haknya merupakan salah satu indikator positif meningkatnya
kesadaran hukum dalam masyarakat. Sisi negatifnya adalah adanya kecenderungan
meningkatnya kasus malpraktek dikalangan kedokteran, diadukan atau bahkan
dituntut pasien yang akibatnya seringkali membekas bahkan mencekam para tenaga
kedokteran yang pada gilirannya akan mempengaruhi proses pelayanan
kesehatan dimasa yang akan datang. Masalahnya tidak setiap upaya pelayanan
kesehatan hasilnya selalu memuaskan semua pihak terutama pasien, yang pada
gilirannya dengan mudah menimpakan beban kepada pasien bahwa telah terjadi
malpraktek. Kasus malpraktek yang sering dipahami sebagai kelalayan dokter juga
harus dianalisis lebih dalam terkait alat-alat kedokteran yang menjadi penunjang
keberhasilan pada proses pelayanan kesehatan. Terkait kasus-kasus yang muncul
mengenai malpraktek, kasus yang baru-baru ini terjadi adalah dugaan kasus
malpraktek Mauren di Rumah Sakit Awal Bros Tangerang Banten. Mengingat semakin
maraknya kemunculan kasus-kasus malpraktek yang terjadi akhir-akhir ini
bersamaan dengan semakin meningkatnya kemajuan dalam pelayanan medis, maka
kasus malpraktek ini harus dikaji sebagai sebuah kasus kriminalitas yang
terjadi akibat suatu kelalayan dan propesionalitas tenaga kedokteran.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas dapat dilihat masih adanya pelayanan kesehatan oleh
tenaga medis yang kurang memuaskan pada pasien. Maka permasalahan yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah tentang permasalahan malpraktek tenaga medis
dan upaya pencegahannya.
1.3 Tujuan Penulisan
1.
Menjelaskan pengertian malpraktek
2.
Menjelaskan jenis-jenis
malpraktek kedokteran
3.
Menjelaskan cara-cara pembuktian
malpraktek
4.
Menjelaskan tentang tanggung
jawab secara hukum
5.
Memahami upaya pencegahan malpraktek
dan mengetahui cara menghadapi
tuntutan hukum.
1.4 Manfaat Penulisan
1.
Menambah wawasan ilmu pengetahuan
dalam bidang kesehatan terutama yang
berkaitan dengan malpraktek tenaga medis.
2.
Memahami permasalahan yang berkaitan
dengan malpraktek tenaga medis serta upaya-upaya
untuk mencegahnya.
3.
Memahami tuntutan hukum terhadap
malpraktek tenaga medis.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian
Malpraktek
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu
berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan
“praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek
berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya
demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan
adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi. Sedangkan difinisi
malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau
tenaga keperawatan (perawat danbidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian
dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim
dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los
Angelos, California, 1956).
Berlakunya
norma etika dan norma hukum dalam profesi bidan.
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma
etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan
praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma
tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari
sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami
mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum,
sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar.
Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut
substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk
menentukan adanya ethica malpractice atau yuridical malpractice dengan
sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan
yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti
merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
2.2 Malpraktek
Dibidang
Hukum
Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3
kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice,Civil
malpractice dan Administrative malpractice.
1. Criminal
malpractice
Perbuatan seseorang dapat
dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut
memenuhi rumusan delik pidana yakni :
a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan
perbuatan tercela.
b. Dilakukan dengan sikap batin
yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan
(reklessness) atau kealpaan (negligence).
Criminal
malpractice yang bersifat sengaja (intensional) :
a.
Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran
Wajib Simpan Rahasia Kebidanan, yang berbunyi:
1.
Ayat (1) Barangsiapa dengan
sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau
pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahulu diancam dengan pidana
penjara paling lama sembi Ian bulan atau denda paling banyak enam ratu rupiah.
2.
Ayat (2) Jika kejahatan
dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut
ata pengaduan orang itu.
b.
Pasal 346 sampai dengan pasal 349
KUHP, tentang Abortus Provokatus. Pasal 346 KUHP Mengatakan: Seorang wanita
yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain
untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
c.
Pasal 348 KUHP menyatakan: Ayat (1)
Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau me¬matikan kandungan seorang
wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun enam bulan. Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita
tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
d.
Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika
seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut
pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu
dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan
pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
Pasal 351 KUHP, tentang penganiayaan, yang berbunyi:
·
Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan
pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak
tiga ratus rupiah.
·
Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan
luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima
tahun.
·
Ayat (3) Jika mengakibatkan mati,
dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
·
Ayat (4) Dengan penganiayaan
disamakan sengaja merusak kesehatan.
·
Ayat (5) Percobaan untuk melakukan
kejahatan ini tidak dipidana.
Criminal
malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan
medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
a.
Pasal 347 KUHP menyatakan: Ayat (l)
Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan me¬matikan kandungan seorang wanita
tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun. Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut,
dikenakart pidana penjara paling lama lima belas tahun.
b.
Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika
seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut
pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal
itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan
pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang
hati-hati melakukan proses kelahiran.
a.
Pasal-pasal 359 sampai dengan 361
KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati atau luka-luka berat.
3.
Pasal 359 KUHP, karena kelalaian
menyebabkan orang mati : Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya
orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan
paling lamasatu tahun.
b.
Pasal 360 KUHP, karena kelalaian
menyebakan luka berat: Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang
lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau kurungan paling lamasatu tahun. Ayat (2)
Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa
sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau
pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
c.
Pasal 361 KUHP, karena kelalaian
dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya: dokter, bidan, apoteker, sopir,
masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya
hingga mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih
berat pula. Pasal 361 KUHP menyatakan: Jika kejahatan yang diterangkan dalam
bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pen¬caharian, maka
pidana ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk
menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat
memerintahkan supaya putusnya diumumkan. Pertanggung jawaban didepan hukum pada
criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu
tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana
kesehatan.
2. Civil
malpractice
Seorang bidan akan disebut melakukan civil
malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan
prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).
Tindakan bidan yang dapat dikategorikan civil
malpractice antara lain:
a. Tidak
melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
b. Melakukan
apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
c. Melakukan
apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
d. Melakukan
apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung
jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat
pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan
prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas
kesalahan yang dilakukan karyawannya (bidan) selama bidan tersebut dalam rangka
melaksanakan tugas kewajibannya.
3. Administrative
malpractice
Bidan dikatakan telah melakukan administrative
malpractice manakala bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu
diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan
menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang
persyaratan bagi bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat
Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban bidan. Apabila aturan tersebut
dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar
hukum administrasi.
2.3 Pembuktian
Malpraktek Dibidang Pelayanan Kesehatan
Dari definisi malpraktek adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau
tenaga keperawatan (perawat dan bidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian
dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim
dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los
Angelos, California, 1956).
Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar
telah terjadi kelalaian bidan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut.
Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan
resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment)
karena perikatan dalam transaksi teraputik antara bidan dengan pasien adalah
perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan
perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaat verbintenis).
Apabila bidan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini
bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi
kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan. Dalam hal bidan didakwa
telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan
bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni :
a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan
perbuatan yang tercela
b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang
salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan). Selanjutnya apabila bidan
dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia,
menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan
tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang
hati-hati ataupun kurang praduga. Dalam kasus atau gugatan adanya civil
malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
Cara langsung Oleh Taylor membuktikan
adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban) Dalam hubungan perjanjian bidan dengan pasien, bidan
haruslah bertindak berdasarkan: 1) Adanya indikasi medis, 2) Bertindak secara
hati-hati dan teliti, 3) Bekerja sesuai standar profesi, 4) Sudah ada informed
consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang bidan melakukan pekerjaan menyimpang dari apa yang seharusnya atau
tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka
bidan tersebut dapat dipersalahkan.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian) Bidan untuk dapat
dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal)
dan kerugian (damage)yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau
tindakan sela diantaranya, dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil
(outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan bidan. Sebagai adagium
dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan
dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
Cara
tidak langsung Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi
pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil
layanan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan
apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a. Fakta
tidak mungkin ada/terjadi apabila bidan tidak lalai
b. Fakta
itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab bidan
Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain
tidak ada contributory negligence. Misalnya ada kasus saat bidan akan memotong
tali pusat bayi, saat memotong tali pusat ikut terluka perut pasien tersebut.
Dalam hal ini perut yang luka dapat dijadikan fakta yang secara tidak langsung
dapat membuktikan kesalahan bidan, karena:
a. Perut
bayi tidak akan terluka apabila tidak ada kelalaian tenaga perawatan.
b. Memotong
tali pusat bayi adalah merupakan/berada pada tanggung jawab bidan.
c. Pasien/bayi
tidak mungkin dapat memberi andil akan kejadian tersebut.
2.4
Tanggung Jawab Hukum
Seperti dikemukakan di depan
bahwa tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan kepada
pasien baik berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini tidak
mungkin dapat dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka
tersebut merupakan akibat kesalahan bidan atau merupakan resiko tindakan, untuk
selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat apabila kerugian tersebut
merupakan akibat kelalaian bidan. Di dalam transaksi teraputik ada beberapa
macam tanggung gugat, antara lain:
1. Contractual
liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai
akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah
disepakati. Di lapangan kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya
maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan
maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak
sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2. Vicarius
liability
Vicarius liability atau respondeat
superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh
tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya
rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan
kelalaian bidan sebagai karyawannya.
3.
Liability in tort Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan
melawan hukum (onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas
hanya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri
maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan
kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam
pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari
1919).
2.5 Upaya
Pencegahan dan Menghadapi
Upaya pencegahan malpraktek
dalam pelayanan kesehatan. Dengan
adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat bidan karena adanya mal praktek
diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati,
yakni:
a. Tidak
menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian
berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis)
bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
b. Sebelum
melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat
semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila
terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan
pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f. Menjalin
komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Upaya
menghadapi tuntutan hukum Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien
tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka bidan
seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif
membuktikan kelalaian bidan. Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal
malpractice, maka bidan dapat melakukan :
a. Informal
defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/menyangkal bahwa tuduhan yang
diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada,
misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi
merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa
dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam
perumusan delik yang dituduhkan.
b. Formal/legal
defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada
doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak
unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri
dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah
pengaruh daya paksa.
c. Berbicara mengenai pembelaan, ada
baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis
pembelaan diserahkan kepadanya. Pada perkara
perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti
rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat,
karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di
pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil
sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita
(damage) yang dialami penggugat.
d. Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah
mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res
ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan
kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara
menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan
yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal
inilah yang menguntungkan bidan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Ilustrasi
Kasus
Pihak RS Awal Bros Beberkan Kasus
Maureen Chairul
04 Mar 2011 (Tangerang,
Kompas.com)
Dugaan kasus malpraktik yang terjadi di Rumah Sakit Awal Bros Tangerang,
Banten terhadap bayi Maureen Angela berusia delapan bulan yang kini kehilangan
jari kelingkingnya, masih perlu pembuktian. Tim Kementerian Kesehatan juga
telah diturunkan untuk mengawasi penyelesaian kasus tersebut. Dalam jumpa pers
yang digelar di lantai 5 RS Awal Bros Tangerang, Kamis {3/3) sekitar pukul
13.00 WIB, Dr Elizabeth yang menangani Maureen menjelaskan, Maureen datang ke
Instalasi Gawat Darurat (IGD) pada 16 November 2010 dengan alasan ndak sadar,
kejang, nafas tersengal-sengal, denyut jantung sangat cepat, demam tinggi,
kekurangan cairan berat, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dalam
tubuh. Menurutnya, tim dokter yang bertugas di IGD saat itu mengambil langkah-langkah
medis untuk mengatasi ke gawat daruratan tersebut "Maureen diberi cairan
bicnat yang disuntikkan jarum infus. Karena kandungan pH darahnya asam, maka
diberi cairan bicnat sebelum dilakukan tindakan, kami telah meminta persetujuan
keluarga dan telah disetujui, papar Elizabeth. Jarum infus yang terpasang di
tangan Maureen dibalut dengan perban agar jarum tidak lepas. "Langkah yang
sama juga dilakukan bagi pasien anak. Pemantauan dilakukan dengan baik terbukti
aliran infus berjalan dengan baik," ungkapnya. Setelah itu, kondisi
Maureen berangsur-angsur membaik dan nyawanya terselamatkan. "Dengan
membaiknya kesehatan Maureen, maka kemungkinan tangan Maureen bergerak-gerak
sehingga mengakibatkan cairan infus merembes ke tangan," paparnya.
Rembesan itu mengakibatkan kerusakan pada ujung jari kelingking kanan.
Kerusakan jaringan tersebut merupakan suatu hal yang sangat tidak diharapkan
terjadi. "Semua yang kami lakukan itu adalah upaya untuk menyelamatkan
nyawa pasien. Namun sampai dari resiko memang dapat terjadi dalam suatu proses
pengobatan terhadap siapa saja," kilahnya. Namun, sangat disayangkan
Elizabeth dan pihak RS Awal Bros tidak memberi kesempatan kepada wartawan untuk
bertanya lebih jauh. "Kami selaku manajemen rumah sakit akan senantiasa menyediakan
waktu untuk berkomunikasi dengan keluarga pasien," katanya mengakhiri
keterangan persnya. Secara terpisah, Direktur Bina Upaya Rujukan Direktorat
Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan dr Chairul Rajab Nasution
mengatakan, kasus dugaan malpraktik di RS Awal Bros itu perlu pembuktian secara
obyektif. "Kita harus membuktikan secara obyektif, apakah ini kasus sebab
akibat penyakit sebelumnya atau karena ada kelalaian yang dilakukan oleh tim
medis," kata Chairul kepada wartawan di Kantor Kementerian Kesehatan,
Kamis (3/3) sekitar pukul 15.00 WIB. Dia mengatakan, Kemenkes telah melakukan
koordinasi terhadap kasus dugaan malpraktik yang menimpa anak Maureen Angela.
"Jika ada yang salah, Kementerian Kesehatan pasti akan melakukan tindakan
tegas sesuai dengan kesalahan yang terbukti," kata Chairul. Untuk
pembuktian itu, harus melalui beberapa proses melalui Komite Medik Rumah Sakit
untuk membuktikan secara diagnostik medik. Sedangkan Kementerian Kesehatan
sebagai regulator akan melihat secara administratifnya.
RS, dokter
Rumah Sakit Awal Bros, Kota Tangerang, belum menerima surat panggilan dari
Kepolisian Resor Metro Tangerang Kota terkait pelaporan sang dokter oleh orang
tua Maureen (8 bulan). Dokter yang merawat Maureen itu dilaporkan Linda
Kurniawati (33) dan Budi Kuncahya (39) ke Polda Metro Jaya, tapi dilimpahkan ke Polrestro
Tangerang Kota. "Belum ada panggilan dari
polisi untuk dokter RS. Kami menunggu proses hukum berjalan,"
kata juru bicara Rumah Sakit Awal Bros, dokter Elizabeth, saat dihubungi wartawan,
Rabu (9/3/2011). Dokter RS dilaporkan atas dugaan perawatan dari
sang dokter yang menyebabkan dua ruas jari kelingking Maureen putus.
Pihak RS Awal Bros berupaya menjalin komunikasi dengan keluarga Maureen.
Usaha tersebut sebagai iktikad baik RS yang dahulu bernama RS Global Medika
untuk tidak mengabaikan penderitaan yang dialami Maureen. "Keluarga pasien
terakhir kali kontak dengan kami pada tanggal 28 Februari 2011 saat Maureen
kontrol kesehatan rutin tiap akhir bulan," kata Elizabeth.
Sementara,
ibu korban, Linda, mengatakan, belum tahu perkembangan kasus hukum dokter yang
merawat anaknya. Keluarga masih menunggu proses hukum berjalan.
Linda mengatakan, terakhir kali datang ke RS Awal Bros pada 28 Februari 2011
lalu. Pihak RS menjanjikan akan melakukan operasi 3-6 bulan mendatang.
"Tapi, belum tahu untuk biaya operasi, apakah gratis atau membayar lagi.
Padahal, kami sudah keluar uang sampai puluhan juta rupiah," ucap Linda.
Seperti diberitakan, Maureen adalah korban dugaan tindak malapraktik di
RS Awal Bros pada November 2010. Akibat diberikan cairan keras, yakni bicnat di
infusnya, tangan Maureen membengkak, membiru, hingga bernanah. Dokter bedah
plastik sempat menyarankan jari Maureen diamputasi. Namun, saran itu akhirnya
tidak dilakukan hingga dokter bedah plastik menjalani operasi pertama untuk
mengangkat nanah di punggung telapak tangan Maureen. Setelah operasi itu, jari
di tangan kanan Maureen semakin mengerucut
sampai akhirnya pada bulan Desember 2010 dua ruas kelingking Maureen terputus.
3.2 Analisis
Kasus
Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di
media masa. Dugaan kasus malpraktek yang terbaru adalah kasus malpraktek mauren
yang mengalami putusnya dua jari kelingking mauren. Namun, sampai kini, belum
ada yang tuntas penyelesaiannya. Tadinya masyarakat berharap bahwa UU Praktik
Kedokteran itu akan juga mengatur masalah malpraktek medik. Namun, materinya
ternyata hanya mengatur masalah disiplin, bersifat intern. Walaupun setiap
orang dapat mengajukan ke Majelis Disiplin Kedokteran, tetapi hanya yang
menyangkut segi disiplin saja. Untuk segi hukumnya, undang-undang merujuk ke
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) bila terjadi tindak pidana.
Indonesia berdasarkan hukum tertulis, seharusnya tetap terbuka putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi yurisprudensi.
Masyarakat semakin sadar terhadap masalah pelayanan kesehatan, DPR yang baru
harus dapat menangkap kondisi tersebut dengan berinisiatif membentuk
Undang-Undang (UU) tentang Malpraktik Medik, sebagai pelengkap UU Praktik
Kedokteran. Bagaimana materinya, kita bisa belajar dari negara-negara yang
telah memiliki peraturan tentang hal tersebut. Harapan masyarakat, ketika
mereka merasa dirugikan akibat tindakan medis, landasan hukumnya jelas.
Sedangkan di pihak para medis, setiap tindakannya tidak perlu lagi dipolemikan
sepanjang sesuai undang-undang.
Ketidaktercantuman istilah dan definisi menyeluruh tentang malpraktek
dalam hukum positif di Indonesia, ambiguitas kelalaian medik dan malpraktek
yang berlarut-larut, hingga referensi-referensi tentang malpraktek yang masih
dominan diadopsi dari luar negeri yang relevansinya dengan kondisi di Indonesia
masih dipertanyakan. Inovasi pemerintah guna menangani kasus malpraktek dan
sengketa medik adalah lahirnya RUU Praktik Kedokteran. Dalam beberapa pasal,
RUU Praktik Kedokteran memang memberikan kepastian hukum bagi dokter sekaligus
perlindungan bagi pasien. Secara substansial, RUU yang terdiri dari 182 pasal
ini memuat pasal-pasal yang implisit dengan teori-teori pembelaan dokter yang
umumnya digunakan dalam peradilan. RUU Praktek Kedokteran memungkinkan sebuah
sistem untuk meregulasi pelayanan medis yang terstandardisasi dan
terkualifikasi sehingga probabilitas terjadinya malpratek dapat diatasi
seminimal mungkin. Dengan dicantumkannya peraturan pidana dan perdata serta
peradilan profesi tenaga medis, harapan perlindungan terhadap pasien dapat
terealisasi.
Salah satu upaya untuk menghindarkan dari malpraktek adalah adanya
informed consent (persetujuan) untuk setiap tindakan dan pelayanan medis pada
pasien. Hal ini sangat perlu tidak hanya ntuk melindungi dari kesewenangan
tenaga kesehatan seperti doter atau bidan, tetapi juga diperlukan untuk
melindungi tenaga kesehatan dari kesewenangan pasien yang melanggar batas-batas
hukum dan perundang-undangan malpraktek. Kasus Mauren mauren memang harus
dianalisi oleh pihak-pihak terkait untuk menentukan dugaan-dugaan yang muncul
dan penyelesaian yang diajukan untuk mengatasi kasus ini.
3.3 Malpraktek
Ditinjau dari Segi Hukum
1. Sangsi hukum
Jika perbuatan malpraktik yang dilakukan dokter terbukti dilakukan
dengan unsur kesengajaan (dolus) dan ataupun kelalaian (culpa)seperti dalam
kasus malpraktek dalam bidang orthopedy yang kami ambil, maka adalah hal yang
sangat pantas jika dokter yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena
dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian telah melakukan perbuatan melawan
hukum yaitu menghilangkan nyawa seseorang. Perbuatan tersebut telah nyata-nyata
mencoreng kehormatan dokter sebagai suatu profesi yang mulia.
Pekerjaan profesi bagi setiap kalangan terutama dokter tampaknya harus
sangat berhati-hati untuk mengambil tindakan dan keputusan dalam menjalankan
tugas-tugasnya karena sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Tuduhan
malpraktik bukan hanya ditujukan terhadap tindakan kesengajaan (dolus)
saja.Tetapi juga akibat kelalaian (culpa) dalam menggunakan keahlian, sehingga
mengakibatkan kerugian, mencelakakan, atau bahkan hilangnya nyawa orang lain.
Selanjutnya, jika kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan tindakan medik
yang tidak memenuhi SOP yang lazim dipakai, melanggar Undang-undang No. 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan, maka dokter tersebut dapat terjerat tuduhan
malpraktik dengan sanksi pidana.
Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang
mengakibatkan celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359,
misalnya menyebutkan, “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang
lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling
lama satu tahun”. Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya
keselamatan jiwa seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (1) ‘Barang
siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama
satu tahun’. (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain
luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau
denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang
terbukti melakukan malpraktik, sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), “Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam
menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga
dan yang bersalah dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana
dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.”
Namun, apabila kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan malpraktik yang
mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan atau hilangnya nyawa orang lain
maka pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin praktik) dapat
dilakukan.
Berdasarkan Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindakan
malpraktik juga dapat berimplikasi pada gugatan perdata oleh seseorang (pasien)
terhadap dokter yang dengan sengaja (dolus) telah menimbulkan kerugian kepada
pihak korban, sehingga mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian (dokter)
untuk mengganti kerugian yang dialami kepada korban, sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 1365 Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), “Tiap
perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Sedangkan kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal
1366 yang berbunyi: “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian
yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
kelalaian atau kurang hati-hatinya.”
2. Kepastian hukum
Melihat berbagai sanksi pidana dan tuntutan perdata yang tersebut di
atas dapat dipastikan bahwa bukan hanya pasien yang akan dibayangi ketakutan.
Tetapi, juga para dokter akan dibayangi kecemasan diseret ke pengadilan karena
telah melakukan malpraktik dan bahkan juga tidak tertutup kemungkinan hilangnya
profesi pencaharian akibat dicabutnya izin praktik. Dalam situasi seperti ini
azas kepastian hukum sangatlah penting untuk dikedepankan dalam kasus
malpraktik demi terciptanya supremasi hukum. Apalagi, azas kepastian hukum
merupakan hak setiap warga negara untuk diperlakukan sama di depan hukum
(equality before the law) dengan azas praduga tak bersalah (presumptions of
innocence) sehingga jaminan kepastian hukum dapat terlaksana dengan baik dengan
tanpa memihak-mihak siapa pun.
Hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang dapat dikategorikan seorang
dokter telah melakukan malpraktik, apabila (1) Bahwa dalam melaksanakan
kewajiban tersebut, dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim
dipakai. (2) Pelanggaran terhadap standar pelayanan medik yang dilakukan
merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki). (3)
Melanggar UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
3.4 Malpraktek
Ditinjau dari Segi Etika
Ditinjau dari Sudut Pandang Etika (Kode Etik Kedokteran Indonesia
/KODEKI) Etika punya ari yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang
pengguna yang berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu
atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah hal-hal yang menyangkut
moral, dan moral adalah sitem tentang motifasi, perilaku dan perbuatan manusia
yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu
yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat
fundamental: bagaimana saya harus hidup dan bertindak?. Bagi seorang sosiolog,
etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya
tertentu. Bagi praktisi professional termasuk dokter dan tenaga kesehatan
lainnya, etika berarti kewajiban dan tanggungjawab memenuhi harapan profesi dan
masyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang professional, etika adalah
salah satu kaidah yang menjaga terjadinya interaksi antara pemberi dan penerima
jasa profesi secara wajar, jujur, adil, professional dan terhormat.
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “ seorang dokter harus senantiasa
berupaya melaksanakan profesinya sesuai denga standar profesi tertinggi”.
Jelasnya bahwa seeorang dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya seebagai
seorang proesional harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, hokum dan
agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter hrus senantiasa
mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”. Arinya dalam setiap tindakan
dokter harus betujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaan manusia.
Peran
pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (KODEKI) sangatlah perlu ditingkatkan
untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang mungkin sering
terjadi yang dilakukan oleh setiap kalangan profesi-profesi lainnya seperti
halnya advokat/pengacara, notaris, akuntan, dll. Pengawasan biasanya dilakukan
oleh lembaga yang berwenang untuk memeriksa dan memutus sanksi terhadap kasus
tersebut seperti Majelis Kode Etik. Dalam hal ini Majelis Kode Etik Kedokteran
(MKEK). Jika ternyata terbukti melanggar kode etik maka dokter yang
bersangkutan akan dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Kode Etik
Kedokteran Indonesia. Karena itu seperti kasus yang ditampilkan maka juga harus
dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam kode etik.
Namun, jika kesalahan tersebut ternyata tidak sekedar pelanggaran kode
etik tetapi juga dapat dikategorikan malpraktik maka MKEK tidak diberikan
kewenangan oleh undang-undang untuk memeriksa dan memutus kasus tersebut.
Lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus kasus pelanggaran hukum
hanyalah lembaga yudikatif. Dalam hal ini lembaga peradilan. Jika ternyata
terbukti melanggar hukum maka dokter yang bersangkutan dapat dimintakan
pertanggungjawabannya. Baik secara pidana maupun perdata. Sudah saatnya pihak
berwenang mengambil sikap proaktif dalam menyikapi fenomena maraknya gugatan
malpraktik. Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta bagi
masyarakat umum dan komunitas profesi. Dengan adanya kepastian hukum dan
keadilan pada penyelesaian kasus malpraktik ini maka diharapkan agar para
dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab hokum profesinya.
3.5 Malpraktek
Ditinjau dari Sudut Pandang Agama
Ditinjau dari Sudut Pandang Agama. Adapun agama–agama memandang
malpraktek, khususnya yang menyebabkan kematian atau bisa pasien kehilangan
nyawanya. Menurut pandangan Islam. Dikatakan bahwa jatah hidup itu merupakan
ketentuan yang menjadi hak prerogatif Tuhan, biasanya disebut juga haqqullâh
(hak Tuhan), bukan hak manusia (haqqul âdam). Artinya, meskipun secara lahiriah
atau tampak jelas bahwa saya menguasai diri saya sendiri, tapi saya sebenarnya
bukan pemilik penuh atas diri saya sendiri. Untuk itu, saya harus juga tunduk
pada aturan-aturan tertentu yang kita imani sebagai aturan Tuhan. Atau,
meskipun saya memiliki diri saya sendiri, tetapi saya tetap tidak boleh
membunuh diri.
Dari sini dapat kita katakana bahwa, sebagai individu saja kita tidak
berhak atas diri atau kehidupan yang kita miliki, apalagi kehidupan orang lain.
Karena itu maka setiap tindakan yang oada akhirnya menghilangkan hidup atau
nyawa seseorang bisa dianggap sebagai satu tindakan yang melanggar hak
prerogatif Tuhan. Dengan demikian segala macam tindakan malpraktek adalah suatu
pelanggaran.
BAB VI
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Atas dasar beberapa uraian
yang telah disebutkan di muka kiranya dapat diambil suatu kesimpulan sehubungan
dengan masalah malpraktek bidan, adalah sebagai berikut:
1. Kasus malapraktek merupakan suatu kasus yang
menarik, yang sering dialami oleh masyarakat, dan yang sekaligus merupakan
manifestasi dari kemajuan teknologi kesehatan dengan berbagai peralatannya yang
canggih. Sementara itu dengan semakin banyaknya kasus malpraktek yang
disidangkan di Pengadilan dan bermunculannya berita-berita tentang malpraktek
tenaga medis di mass media karena kegagalannya dalam berpraktek sehingga mengakibatkan
cidera-nya atau meninggalkan pasien, menunjukkan bahwa tingkat kesadaran hukum
masyarakat mulai meningkat, sehingga perpaduan antara kedua hal tersebut di
atas akan menimbulkan suatu perbenturan atau sengketa.
2. Sedangkan altrnatif untuk menyelesaikan sengketa itu
sendiri, untuk sementara waktu ini belum memadai, sehingga kasus-kasus
malpraktek dijumpai kandas di pemeriksaan sidang pengadilan. Oleh sebab sangst
diperlukan adanya suatu pemikiran-pemikiran yang jernih dari para arsitek hukum
untuk mene-mukan alternatif apa yang dapat dipakai dalam menghadapi kasus-kasus
malpraktek tersebut, sebab kasus ini sangat banyak berkaitan dengan kepentingan
masyarakat, khususnya bagi yang merasa dirugikannya.
3.2 Saran
1. Kiranya pihak aparat penegak hukum, sebagai pencari
penegakan hukum yang aktif di dalam masyarakat, kiranya dapat berperan aktif
dan melihat dengan jeli indikasi-indikasi kasus malapraktek ini.
2. Selanjutnya, sebagai rangkaian dalam keaktifannya
dalam mencari penegakan hukum, Kejaksaan sebagai Penuntut Umum dan sebagai
pengawasan penyidik sesuai dengan isi KUHP, dapat meningkatkan peranannya
dengan jalan membina kerja sama yang erat dengan pihak penyidik (polisi) untuk
dapat membongkar kasus-kasus malapraktek yang selama ini masih banyak yang
ter-tutup, baru kemudian tugas bagi hakim untuk lebih teliti dan obyektif dalam
mengambil vonisnya.
3. Perlu juga untuk menambah pengetahuan bagi para penegak hukum ini,
khususnya pengetahuan dalam bidang kebidanan, sehingga jika terjadi kasus malapraktek
mereka dapat menyidik, menuntut dan memutus perkara dengan tepat sesuai dengan
kemampuan/pengetahuannya. Hal ini dapat ditempuh dengan cara mengadakan
seminar-seminar atau diberikan semacam pendidikan khusus yang menyangkut
masalah kebidanan, khususnya hal-hal yang sangat erat kaitannya dengan
kejadian-kejadian yang timbul di sekitar malapraktek. Atau
minimal mereka diberikan suatu pegangan/pedoman tentang hokum untuk profesi
bidan dan segala aspeknya. Dari hal ini diharapkan agar nantinya setiap kasus
malpraktek dapat benar-benar diselesaikan dengan tuntas.
4. Diharapkan tenaga medis akan lebih waspada dan hati-hati
dalam melaksanakan tugasnya, masyarakat menjadi aman dan puas atas pelayanannya
dan penegak hukum dapat lancar dalam bertugas, akhirnya penegakan hukum dapat
berjalan sebagaimana kita harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ameln, F., 1991, Kapita
Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta.
Mariyanti, Ninik, 1988,
Malpraktek Kedokteran, Bina Aksara, Jakarta.
Undang undang nomor 29 tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran;
http://nonameface.wordpress.com/2010/02/06/poin-poin-penting-undang-undang-kesehatan-no-36-th-2009/
http://www.kksp.or.id/?pilih=lihatdl&id=30
http://bataviase.co.id/node/590966
http://ikpreg1b.blogspot.com/2011/01/kasus-malpraktek-dalam
kesehatan.html
http://lahasmile.com/62468/kasus-maureen-harus-diproses-hukum.html
http://arsipberita.com/arsip/kasus-maureen-global-medika.html
http://www.indonesiaheadlines.com/index.php?id=1440285
12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar