
TINJAUAN
KEPUSTAKAAN
A. Hiperemesis
Gravidarum
1.
Pengertian
Hiperemisis gravidarum adalah mual dan
muntah berlebih sehingga pekerjaan sehari – hari terganggu dan keadaan umum
menjadi buruk, mual dan muntah merupakan gangguan yang paling sering di jumpai
pada kehamilan trimester pertama, kurang lebih 6 minggu setelah haid terakhir
selama 10 minggu. Sekitar 60 – 80 % Primigravida dan 40 – 60 % multi gravida
mengalami mual muntah. Namun gejala ini menjadi lebih berat hanya pada 1 dari
1000 kehamilan. ( Mansjoer, 2007)
Kesimpulan : Dari berbagai pengertian
diatas dapat di simpulkan bahwa, hiperemisis gravidarum adalah mual muntah yang
berlebih dan gejala yang wajar dan sering kedapatan pada kehamilan trimester
pertama.
2.
Etiologi
|
a. Faktor
predisposisi yang sering di
temukan adalah primigravida molahidatidosa dan kehamilan ganda yan menimbulkan
faktor ganda yang menimbulkan faktor human khorionik. Gonadotropin di bentuk
berlebih.
b. Faktor
organik yaitu alergi masuknya khloriosis dalam sirkulasi maternal dan perubahan
metabolik akibat hamil serta resistensi yang menurun dari pihak ibu terhadap
perubahan ini.
c. Alergi
sebagai salah satu respon dari jaringan ibu terhadap anak.
d. Faktor
psikologi, memegang peran penting pada penyakit ini seperti sosial ekonomi, dukungan keluarga, dan lingkungan.
( Sarwono, 2009)
3. Patofisiologi
Perasaan mual adalah akibat dari
meningkatnya kadar estrogen oleh karena keluhan ini terjadi pada trimester
pertama pengaruh psikologik. Hormon estrogen ini tidak jelas mungkin berasal
dari sitem syaraf pusat atau akibat dari berkurangnya pengosongan lambung.
Hiperemisis gravidarum yang merupakan komplikasi
mual dan muntah pada hamil muda bila terjadi terus menerus dapat menyebabkan
dehidrasi dan tidak seimbangnya cairan dan elektrolit dengan alkolosis
hipoklomik. Hiperemesis gravidarum ini dapat mengakibatkan cadangan karbohidrat
dan lemak habis dipakai untuk keperluan energi karena oksidasi lemak yang tidak
sempurna. Terjadilah ketoasidosis dengan tertimbunnya asam aseton asetik, Asam
hidrosiburitik dan aseton dalam darah. Kekurangan cairan yang diminum dan
kehilangan cairan karena muntah menyebabkan dehidrasi, sehingga cairan ekstra
seluler dan plasma berkurang. Natrium dan darah rutin, Juga chloride air
kencing berkurang. Selain itu dehidrasi menyebabkan hemokonsentrasi, sehingga
aliran darah ke dalam jarigan menurun. Hal ini akan menyebabkan jumlah zat
makanan dan oksigen kejaringa mengurang pula dan mmenimbulkan zat – zat metabolik
yan toksik. Kekurangan kalium akan terjadi, karena muntah dan karena
peningkatan eskresi kalium melalui ginjal. Hipokalemi ini menyebabkan lebih
banyak muntah yang bertambah banyak, bersamaan dengan kerusakan hati akan
menyebabkan sirculasi vitiosus yang sukar dipatahkan.
Disamping dehidrasi dan terganggunya
keseimbangan elektrolit dapat terjadi robekan pada selaput lender esophagus dan
lambung dengan akibat perdarahan gastro intestinal. Pada umumnya robekan ini
ringan dan perdarahan dapat berhenti sendiri, jarang sampai diperlukan tranfusi
atau tindakan operatif. ( Sarwono, 2009)
4.
Manifestasi klinis
Hiperemisis gravidarum menurut berat
ringannya gejala dapat dibagi dalam 3 tingkat :
a.
Tingkat I :
1) Muntah
terus menerus
2) Lemah
3) Nafsu
makan tidak ada
4) Berat
badan turun
5) Nyeri
epigastrium ; nyeri pada lambung bagian atas
6) Nadi
meningkat 100 x / menit
7) Tekanan
darah systole menurun
8) Turgor
kulit berkurang : input berkurang
9) Lidah
kering dan mata cekung
b. Tingkat
II :
1) Penderita
lebih lemah dan apatis
2) Turgor
kulit berkurang
3) Lidah
mongering dan kotor
4) Nadi
kecil dan cepat
5) Suhu
kadang baik
6) Mata
sedikit ikterik
7) Berat
badan menurun dan mata menjadi cekung
8) Tensi
menurun
9) Hipotensi
10) Hemokonsentrasi
11) Oliguri
dan konstipasi
12) Nafas
Berbau aseton
c. Tingkat
III :
1.
Kasadaran pasien
menurun
2.
Muntah berhenti.
3.
Nadi meningkat
4.
Tekanan darah makin
menurun
5.
Kompliksi fatal dapat
terjadi anche phalopati werniche dengan gejala histagmus di plopia, perubahan
mental.
(
Sarwono, 2002)
5.
Penatalaksanaan
a. Obat
obatan sedative Phenobarbital
1) Vitamin
yang dianjurkan B1 dan B6
2) Antihistamin
seperti : dramin, avion
3) Antiemetika
seperti : disklomin hidrokloride / khlor promazin
b. Isolasi
Penderita disendirikan
didalam kamar tenang tetapi cerah dan peredaran udara yang baik, catat cairan
yang keluar dan masuk, hanya dokter dan perawat yang boleh masuk ke dalam
ruangan., sampai muntah berhenti dan penderita mau makan. Tidak diberikan
makanan atau minuman dan selama 24 jam, kadang isolasi gejala – gejala
berkurang atau hilanng tanpa pengobatan.
c. Terapi
Perlu diyakinkan kepada
penderita bahwa penyakit ini dapat disembuhkan.
d. Cairan
parenteral
Berikan cairan
parenteral yang cukup elektrolit, karbohidrat dan protein dan glukosa 5 % dalam
cairan garam fisiologis sebanyak 2 – 3 liter bila perlu ditambah kalium dan vit
C dan bila ada kekurangan protein dapat diberikan asam amino secara IV.
e. Penghentian
kehamilan / abortus terapeutik.
B. Usia
Usia adalah
lamanya hidup seseorang sejak dilahirkan yang dinyatakan dengan tahun sampai
saat. Usia ibu saat melahirkan merupakan
salah satu faktor resiko kematian perinatal. Dalam kurun waktu reproduksi sehat
diketahui bahwa umur aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20 – 35 tahun.
(Siregar, 2008)
Pada
usia
20 – 35 tahun adalah kondisi terbaik untuk terjadinya kehamilan dan persalinan
karena serviks sudah siap dan matang serta biasanya psikologis ibu lebuh siap
untuk kehamilan. Tapi pada usia tersebut tidak menutup kemungkinan pada usia
tersebut riwayat kehamilan yang lalu dan selama ibu hamil, misalnya kondisi
kesehatan ibu yang mungkin lebih banyak terjadi pada usia tersebut salah
satunya perdarahan masa hamil dan stress fisik atau mental yang dapat menjadikan ibu akhirnya bersalin
sebelum waktunya.
(Siregar, 2008).
Usia terlalu muda atau terlalu tua merupakan salah satu faktor resiko
terjadinya persalinan kurang bulan. Pada ibu muda atau ibu hamil dengan usia
kurang dari 20 tahun merupakan resiko tinggi kehamilan yang dapat mengancam
keselamatan ibu bayinya.
Hal ini
disebabkan pada ibu muda, perkembangan organ-organ reproduksi dan fungsi
fisiologinya belum optimal dan secara psikologi belum tercapainya emosi dan
kejiwaan yang matang, sehingga akan mempengaruhi pada penerimaan kesiapan
kehamilannya yang akhirnya berdampak pada pemeliharaan dan perkembangan janin
yang dikandungnya. (Siregar, 2008).
Sedangkan pada
umur ibu hamil dengan umur lebih 35 tahun merupakan resiko tinggi pula untuk
hamil karena akan dapat menimbulkan komplikasi kehamilan dan merugikan
perkembangan janin selam periode dalam kandungan, hal ini karena ada kemunduran
fisiologi dan reproduksinya secara umum. Selain itu ibu yang berusia tua tidak
menutup kemungkinan mempunyai riwayat obstetri. (Siregar, 2008).
Dari
uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa ibu muda dapat mengalami hiperemesiss disebabkan perkembangan
organ-organ reproduksi dan fungsi fisiologinya belum optimal dan secara
psikologi belum tercapainya emosi dan kejiwaan yang matang yang
mempengaruhi sistem saraf pusat atau pengosongan
lambung yang berkurang. Disebabkan meningkatnya
kadar hormon
estrogen
dan HCG dalam serum berpengaruh
kepada fisiologik ibu dalam kenaikan hormon
hormon
estrogen
dan HCG.
C. Paritas
Paritas adalah
jumlah bayi hidup yang pernah dilahirkan. Program KB harus dilaksanakan secara
intensif untuk menurunkan angka fertilitas dan membudayakan Norma Keluarga
Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS). Salah satu pernyataan dalam NKKBS adalah
pernyataan tentang jumlah anak yang sebaiknya dimiliki yaitu 2 anak cukup.
Laki-laki atau perempuan sama saja. Keluarga kecil dengan dua anak akan memberi
dampak positif terhadap masalah kependudukan, perhatian orang tua terhadap
anak, sosial ekonomi keluarga dan lain sebainya (Siregar, 2008).
Paritas adalah keadaan wanita berkaitan dengan jumlah anak yang dilahirkan
(kamus kedokteran, Ahmad Ramlan, 2005: 220), sedangkan menurut Manuaba (2005) paritas adalah wanita yang pernah melahirkan dan dibagi menjadi berapa
istilah :
1.
Primipara yaitu wanita yang telah melahirkan sebanyak satu kali.
2.
Multipara yaitu wanita yang telah pernah melahirkan anak hidup beberapa
kali, dimana persalinan tersebut tidak lebih dari lima kali.
3.
Grandemultipara yaitu wanita yang telah melahirkan janin aterm lebih dari
lima kali (Manuaba, 2005)
Para primipara penyebab cukup besarnya kejadian hiperemesis terutama pada primipara berumur belasan tahun
disebabkan kehamilan pertama merupakan sebuah percobaan berat terhadap
kemampuan reproduksi ibu dan psikologis ibu belum tercapainya emosi
dan kejiwaan yang matang, dimana meningkatan
hormon estrogen dan HCG dalam tubuh sehingga dapat menyebabkan hiperemesiss.
Berdasarkan paritas, institute of Medicine (2000) menyatakan ibu-ibu dengan
paritas tinggi (melahirkan lebih dari 3 kali) cenderung mengalami komplikasi
dalam kehamilan yang akhirnya berpengaruh pada hasil persalinan terutama juga
pada primipara yang berumur belasan tahun. (Pierce, 2002)
Dari
uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa hubungan ibu primipara dengan hiperemesis adalah ibu primipara penyebab cukup besarnya kejadian hiperemesis terutama pada primipara berumur belasan tahun
disebabkan kehamilan pertama merupakan sebuah percobaan berat terhadap
kemampuan reproduksi ibu dan psikologis ibu belum tercapainya emosi
dan kejiwaan yang matang, meningkatan hormon estrogen
dan HCG dalam tubuh sehingga dapat menyebabkan hiperemesis.
D. Dukungan
Sosial Keluarga
Dukungan sosial keluarga sangat dibutuhkan oleh setiap
orang. Menurut Gunarsa (2005), keluarga adalah kelompok sosial yang bersifat
abadi, dikukuhkan dalam hubungan nikah yang memberikan pengaruh terhadap
keturunan dan lingkungan. Menurut Fadly (2009), Keluarga adalah unit/satuan
masyarakat yang terkecil yang sekaligus merupakan suatu kelompok kecil dalam
masyarakat. Keluarga biasanya terdiri dari suami, istri, dan juga anak-anak
yang selalu menjaga rasa aman dan ketentraman ketika menghadapi segala suka duka
hidup dalam eratnya arti ikatan luhur hidup bersama.
Gunarsa
& Gunarsa (2005), menyatakan bahwa fungsi keluarga adalah sebagai berikut:
1. Mendapatkan keturunan dan
membesarkan anak
2. Memberikan afeksi/kasih sayang,
dukungan, dan keakraban
3. Mengembangkan kepribadian
4. Mengatur pembagian tugas, menanamkan
kewajiban, hak, dan tanggung jawab
5. Mengajarkan dan meneruskan adat
istiadat, kebudayaan, agama, dan sistem moral pada anak
Berdasarkan beberapa literatur diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa dukungan sosial keluarga adalah bantuan yang berasal dari
keluarga individu yang menerima bantuan. Bentuk bantuan dapat berupa informasi,
tingkah laku tertentu, atapun materiil yang dapat menjadikan individu yang
menerima bantuan merasa disayangi, diperhatikan, dan bernilai. Dukungan sosial
yang berasal dari keluarga merupakan dukungan yang sangat penting artinya bagi
para pensiunan. Hal ini dikarenakan keluarga merupakan kumpulan orang-orang
yang dapat diandalkan kesinambungan dukungannya di saat seorang pensiunan mulai
terpisah dari lingkungan luarnya, seperti dari teman sekerja, rekan bisnis,
ataupun orang lainnya di luar keluarga.
Rook (1985, dalam Smet, 2004) mendefinisikan dukungan sosial
sebagai salah satu fungsi pertalian sosial yang menggambarkan tingkat dan kualitas
umum dari hubungan interpersonal yang akan melindungi individu dari konsekuensi
stres. Dukungan sosial yang diterima dapat membuat individu merasa tenang,
diperhatikan, timbul rasa percaya diri dan kompeten. Tersedianya dukungan
sosial akan membuat individu merasa dicintai, dihargai dan menjadi bagian dari
kelompok. Senada dengan pendapat diatas, beberapa ahli Cobb, 1976; Gentry and
Kobasa, 1984; Wallston, Alagna and Devellis, 1983; Wills, 1984 : dalam
Sarafino, 2003)
menyatakan bahwa individu yang memperoleh dukungan sosial akan meyakini
individu dicintai, dirawat, dihargai, berharga dan merupakan bagian dari
lingkungan sosialnya. Menurut Schwarzer and Leppin, 1990 dalam Smet, 2004; dukungan sosial dapat dilihat
sebagai fakta sosial atas dukungan yang sebenarnya terjadi atau diberikan oleh
orang lain kepada individu (perceived
support) dan sebagai kognisi individu yang mengacu pada persepsi terhadap
dukungan yang diterima (received support).
(Smet, 2004)
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dukungan
sosial keluarga adalah dukungan atau bantuan yang
berasal dari orang yang memiliki hubungan sosial akrab dengan individu yang
menerima bantuan. Bentuk dukungan ini dapat berupa infomasi, tingkah laku
tertentu, ataupun materi yang dapat menjadikan individu yang menerima bantuan
merasa disayangi, diperhatikan dan bernilai.
Faktor- faktor yang mempengaruhi dukungan sosial keluarga menurut Stanley (2007), faktor-
faktor yang mempengaruhi dukungan sosial keluarga adalah sebagai berikut :
1. Kebutuhan fisik
Kebutuhan fisik dapat mempengaruhi dukungan sosial. Adapun
kebutuhan fisik meliputi sandang, pangan dan papan. Apabila seseorang tidak
tercukupi kebutuhan fisiknya maka seseorang tersebut kurang mendapat dukungan
sosial.
2. Kebutuhan sosial
Dengan aktualisasi diri yang baik maka seseorang lebih kenal
oleh masyarakat daripada orang yang tidak pernah bersosialisasi di masyarakat.
Orang yang mempunyai aktualisasi diri yang baik cenderung selalu ingin
mendapatkan pengakuan di dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu pengakuan sangat
diperlukan untuk memberikan penghargaan.
3. Kebutuhan psikis
Dalam kebutuhan psikis pasien pre operasi di dalamnya
termasuk rasa ingin tahu, rasa aman, perasaan religius, tidak mungkin terpenuhi
tanpa bantuan orang lain. Apalagi jika orang tersebut sedang menghadapi masalah
baik ringan maupun berat, maka orang tersebut akan cenderung mencari dukungan
sosial dari orang- orang sekitar sehingga dirinya merasa dihargai, diperhatikan
dan dicintai. (Stanley, 2007)
Klasifikasi dukungan sosial keluarga menurut Cohen & Syme (2002), mengklasifikasikan dukungan
sosial dalam 4 kategori yaitu :
1. Dukungan informasi, yaitu memberikan
penjelasan tentang situasi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah
yang sedang dihadapi individu. Dukungan ini, meliputi memberikan nasehat,
petunjuk, masukan atau penjelasan bagaimana seseorang bersikap.
2. Dukungan emosional, yang meliputi
ekspresi empati misalnya mendengarkan, bersikap terbuka, menunjukkan sikap
percaya terhadap apa yang dikeluhkan, mau memahami, ekspresi kasih sayang dan
perhatian. Dukungan emosional akan membuat si penerima merasa berharga, nyaman,
aman, terjamin, dan disayangi.
3. Dukungan instrumental adalah bantuan
yang diberikan secara langsung, bersifat fasilitas atau materi misalnya
menyediakan fasilitas yang diperlukan, meminjamkan uang, memberikan makanan,
permainan atau bantuan yang lain.
4. Dukungan appraisal atau penilaian,
dukungan ini bisa terbentuk penilaian yang positif, penguatan (pembenaran)
untuk melakukan sesuatu, umpan balik atau menunjukkan perbandingan sosial yang
membuka wawasan seseorang yang sedang dalam keadaan stres.
Pendapat Sheridan & Radmacher (2002) menyatakan bahwa dukungan sosial keluarga merupakan transaksi interpersonal
yang melibatkan aspek- aspek informasi, perhatian emosi, penilaian dan bantuan
instrumental berasal dari keluarga. Ciri- ciri setiap aspek tersebut oleh Smet (2004) dan Taylor (2005), dijelaskan sebagai berikut ;
1. Informasi dapat berupa saran- saran,
nasihat dan petunjuk yang dapat dipergunakan oleh korban dalam mencari jalan
keluar untuk pemecahan masalahnya.
2. Perhatian emosi berupa kehangatan,
kepedulian dan dapat empati yang meyakinkan korban, bahwa dirinya diperhatikan
orang lain.
3. Penilaian berupa penghargaan
positif, dorongan untuk maju atau persetujuan terhadap gagasan atau perasaan
individu lain.
4. Bantuan instrumental berupa dukungan
materi seperti benda atau barang yang dibutuhkan oleh korban dan bantuan
finansial untuk biaya pengobatan, pemulihan maupun biaya hidup sehari- hari
selama korban belum dapat menolong dirinya sendiri.
Menurut Wangmuba (2009) dukungan sosial keluarga mencakup dukungan informasi berupa
saran nasehat, dukungan perhatian atau emosi berupa kehangatan, kepedulian dan
empati, dukungan instrumental berupa bantuan meteri atau finansial dan
penilaian berupa penghargaan positif terhadap gagasan atau perasaan orang lain.
Menurut House dalam Depkes (2002) yang dikutip oleh Ninuk
(2007;29), dukungan sosial diklasifikasikan menjadi 4 jenis yaitu ;
1. Dukungan emosional
Dukungan ungkapan empati, kepedulian, dan perhatikan
terhadap orang bersangkutan.
2. Dukungan penghargaan
Terjadi lewat ungkapan hormat atau penghargaan positif untuk
orang lain itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan perasaan individu
dan perbandingan positif orang dengan orang lain misalnya orang itu kurang mampu atau lebih
buruk keadaannya atau menambah harga diri.
3. Dukungan instrumental
Mencakup bantuan langsung misalnya dengan memberi pinjaman
uang kepada orang yang membutuhkan atau menolong dengan memberi pekerjaan pada
orang yang tidak punya pekerjaan.
4. Dukungan informatif
Mencakup pemberian nasihat, saran, pengetahuan, informasi
serta petunjuk.
Menurut Sheridan dan Radmacher (2002), Sarafino (2002) serta Taylor (2005); membagi dukungan sosial keluarga kedalam 5 bentuk, yaitu
1. Dukungan instrumental (tangible or instrumental support)
Bentuk dukungan ini merupakan penyediaan materi yang dapat
memberikan pertolongan langsung seperti pinjaman uang, pemberian barang,
makanan serta pelayanan. Bentuk dukungan ini dapat mengurangi kecemasan karena
individu dapat langsung memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi.
Dukungan instrumental sangat diperlukan dalam mengatasi masalah yang dianggap
dapat dikontrol.
2. Dukungan informasional (informational support)
Bentuk dukungan ini melibatkan pemberian informasi,
pengetahuan, petunjuk, saran atau umpan balik tentang situasi dan kondisi
individu. Jenis informasi seperti ini dapat menolong individu untuk mengenali
dan mengatasi masalah dengan lebih mudah.
3. Dukungan emosional (emotional support)
Bentuk dukungan ini melibatkan rasa empati, ada yang selalu
mendampingi, adanya suasanya kehangatan, dan rasa diperhatikan akan membuat
individu memiliki perasaan nyaman, yakin, diperdulikan dan dicintai oleh sumber
dukungan sosial sehingga individu dapat menghadapi masalah dengan lebih baik.
Dukungan ini sangat penting dalam menghadapi keadaan yang dianggap tidak dapat
dikontrol.
4. Dukungan pada harga diri (esteem support)
Bentuk dukungan ini berupa penghargaan positif pada
individu, pemberian semangat, persetujuan pada pendapat individu dan
perbandingan yang positif dengan individu lain. Bentuk dukungan ini membantu
individu dalam membangun harga diri dan kompetensi.
5. Dukungan dari kelompok sosial (network support)
Bentuk dukungan ini akan membuat individu merasa menjadi anggota
dari suatu kelompok yang memiliki kesamaan minat dan aktivitas sosial dengan
kelompok. Dengan begitu individu akan memiliki perasaan senasib.
Bentuk dukungan sosial keluarga menurut Kaplan and Saddock (1998),
adapun bentuk dukungan sosial keluarga adalah sebagai berikut ;
1. Tindakan atau perbuatan
Bentuk nyata dukungan sosial berupa tindakan yang diberikan
oleh orang disekitar pasien, baik dari keluarga, teman dan masyarakat.
2. Aktivitas religius atau fisik
Semakin bertambahnya usia maka perasaan religiusnya semakin
tinggi. Oleh karena itu aktivitas religius dapat diberikan untuk mendekatkan
diri pada Tuhan .
3. Interaksi atau bertukar pendapat
Dukungan sosial dapat dilakukan dengan interaksi antara
pasien dengan orang- orang terdekat atau di sekitarnya, diharapkan dengan
berinteraksi dapat memberikan masukan sehingga merasa diperhatikan oleh orang.
Dukungan sosial merupakan bantuan atau dukungan yang
diterima individu dari orang- orang tertentu dalam kehidupannya. Diharapkan
dengan adanya dukungan sosial maka seseorang akan merasa diperhatikan, dihargai
dan dicintai. Dengan pemberian dukungan sosial yang bermakna maka seseorang
akan mengatasi rasa cemasnya terhadap pembedahan yang akan dijalaninya (Suhita,
2005).
Kategori dukungan sosial menurut Nursalam (2008), dukungan sosial keluarga
dikategorikan menjadi ;
1. Dukungan sosial keluarga kurang dengan skor < 7
2. Dukungan sosial keluarga cukup dengan skor 8 – 13
3. Dukungan sosial keluarga baik
dengan skor 14 – 20
E.
Penelitian Terkait
Menurut Calvina, (2012) Rumah Sakit Umum Pringsewu Kabupaten Pringsewu didapatkan distribusi
frekuensi penderita hiperemesis gravidarum berdasarkan usia penderita hiperemesis
gravidarum yang diteliti pada penelitian ini mempunyai usia berkisar
dalam rentang 20 tahun sampai 35 tahun,
paling
banyak terdapat pada rentang umur 26 tahun – 30 tahun sebanyak 34 orang
(45%), kemudian rentang umur 20 tahun – 25 tahun sebanyak 27 orang (36%), dan yang terakhir pada
rentang umur 31 tahun – 35 tahun
sebanyak
14 orang (19%).
Mempunyai pengaruh
yang erat dengan perkembangan alat
reproduksi.
Hal ini berkaitan dengan keadaan fisik organ tubuh ibu dalam menerima kehadiran dan mendukung
perkembangan janin. Umur juga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap
persalinan dan kehamilan. Umur yang terlalu mudamerupakan suatu faktor resiko
terjadinya hiperemesis gravidarum. Hal ini terutama terjadi pada wanita
hamil yang berusia dibawah umur 30 tahun (Wilcox et al.,2009). Pada penelitian ini
didapatkan hiperemesis gravidarum lebih sering mengenai ibu hamil pada
rentang umur 26 tahun – 30 tahun, kemudian diikuti oleh umur 20 tahun – 25
tahun, dan umur 31 tahun – 35 tahun. Keadaan ini diduga terkait dengan
faktor-faktor lain seperti faktor keturunan, stress, berat badan yang rendah pada masa kehamilan
dan riwayat mengalami hiperemesis gravidarum pada 29 kehamilan sebelumnya.
Pada ibu hamil yang berusia muda, stress merupakan faktor yang paling
sering dikaitkan dengan hiperemesis gravidarum dimana hal ini dapat memicu terjadinya mual
dan muntah (Buckwalter dan Simpson, 2002). Berdasarkan penelitian
yang pernah dilakukan menunjukan hasil yang sesuai dengan
penelitian ini, bahwa hiperemesis gravidarum lebih sering terjadi pada
wanita hamil yang berusia dibawah 30 tahun (Goodwin, 2008). Namun
tidak disebutkan secara spesifik mengenai umur dibawah 30 tahun tersebut.
Menurut
Calvina, (2012) adalah penderita hiperemesis gravidarum
pada penelitian di Rumah Sakit Umum Pringsewu Kabupaten Pringsewu didapatkan dikelompokan menjadi 2 bagian
berdasarkan status kehamilan yaitu primigravida dan multigravida. Hasil
penelitian menunjukan bahwa penderita hiperemesis gravidarum dengan
status kehamilan primigravida sebanyak 51 orang (68%) dan multigravida sebanyak
24 orang (32%).
Kehamilan primigravida
adalah wanita yang baru pertama kali mengalami kehamilansedangkan multigravida
adalah wanita yang sudah pernah mengalami kehamilan sebanyak 2 kali atau lebih
(Prawirohardjo, 2002). Faktor resiko yang paling seringditemukan pada penderita
hiperemesis gravidarum adalah primigravida. Penelitian yang pernah dilakukan menunjukan
bahwa 60% - 80% primigravida mengalami 30 hiperemesis gravidarum
dan 40% - 60% mutigravida mengalami hiperemesis gravidarum. Hal ini
berhubungan dengan tingkat stres dan usia ibu hamil saat mengahadapi kehamilan pertama.
Pada Primigravida, faktor psikologik memegang peranan penting terhadap
terjadinya hiperemesis gravidarum. Rasa takut terhadap kehamilan dan
persalinan, serta takut terhadap tanggung jawab menjadi seorang ibu dapat menyebabkan
terjadinya konflik mental yang akan memperberat mual dan muntah sebagai ekspresi
keengganan menjadi hamil atau sebagai pelarian dari kesukaran hidup.
Multigravida yang mengalami hiperemesis gravidarum biasanya terkait dengan riwayat
kehamilan pertama, kurangnya pengalaman pada kehamilan pertama dan tingkat
stres yang tinggi pada saat menghadapi kehamilan sehingga menimbulkan resiko
terjadinya hiperemesis gravidarum (Prawirohardjo, 2005). Hiperemesis gravidarum
lebih sering terjadi pada primigravida (68%) dari pada multigravida (32%).
Karena pada primigravida belum mampu beradaptasi terhadap peningkatan
hormon estrogen dan khorionik gonadotropin. Peningkatan hormon ini membuat
kadar asam lambung meningkat sehingga muncul keluhan rasamual. Keluhan ini
biasanya muncul di pagi hari saat perut penderita dalam keadaan kosong dan terjadi
peningkatan asam lambung (Ogunyemi dan Fong, 2009). Berdasarkan penelitian
yang pernah dilakukan Buckwalter dan Simpson(2002) menunjukan hasil yang sesuai
dengan penelitian ini yaitu primigravida lebih sering mengalami
hiperemesis gravidarum. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Prawirohardjo (2005) bahwa primigravida lebih sering mengalami hiperemesis
gravidarum dari pada multigravida dengan persentase sebesar 60% - 80%.
Menurut
Ratna, (2011) Rumah
Sakit Islam Bandung didapatkan dengan teknik analisis regresi sederhana. Dari analisis data
diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 0,836 dengan p = 0,00
(p<0,05). Angka tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang sangat signifikan antara variabel dukungan keluarga dengan kejadian
hiperemesis.
Sumbangan efektif dukungan keluarga terhadap pasien hiperemesis di rumah sakit dalam
kategori baik sebesar
49,5 % , efektif dukungan keluarga kategori
cukup baik memberi
pengaruh sebesar 30,1 %, dan efektif dukungan keluarga kategori cukup baik sebesar 20,4 %.
F.
Kerangka
Teori
Kerangka teori
adalah ringkasan dan tinjauan pustaka yang digunakan yang digunakan untuk
mengidetifikasi variabel yang akan diteliti yang berkaiatan dengan konteks ilmu
pengetahuan yang digunakan untuk mengembangkan kerangka konsep penelitian (
Notoatmodjo, 2005)
Gambar 1. Kerangka Teori
( Sarwono, 2009)
G.
Kerangka
Konsep
Kerangka
konsep penelitian menurut Notoadmodjo (2005)
adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang akan diamati atau diukur
melalui penelitian – penelitian yang akan dilakukan.
|
|

H.
Variabel
Penelitian
Variabel
adalah suatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran yang dimiliki atau
didapatkan oleh satuan penelitian tentang sesuatu konsep pengertian tertentu. (Notoadmojo,
2005). Variabel independen
adalah usia, paritas, dan dukungan sosial keluarga.
Variabel dependen adalah variabel yang terkait atau variabel yang dipengaruhi
oleh variabel independen dalam pengertian ini variabel dependen adalah hiperemesiss gravidarum.
I.
Definisi
Operasional
Definisi operasional menurut
Notoatmodjo adalah batasan pada
variabel – variabel yang diamati atau diteliti yang bermanfaat mengarahkan
kepada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel yang bersangkutan serta
pengembangan instrument. Adapun definisi penelitian dalam penelitian ini adalah
Tabel
1. Definisi Operasional Variabel
Variabel
|
Definisi operasional
|
Alat ukur
|
Cara ukur
|
Hasil ukur
|
Skala
|
|
Variabel
Independent
|
||||||
Usia
|
Merupakan lamanya hidup ibu sejak dilahirkan yang
dinyatakan dengan tahun saat tercatat di rumah sakit
|
Checklist
|
Observasi
|
< 20 tahun = 0
20 – 35
tahun = 1
> 35 tahun = 2
(Siregar, 2008)
|
Nominal
|
|
Paritas
|
Keadaan wanita yang
terkait dengan jumlah anank yang dilahirkan oleh ibu yang tercatat pada rekam
medik
|
Checklist
|
Observasi
|
Jika primipara ≤ 1kali = 0
Jika multipara 2 -
4 kali = 1
Jika grandemultipara
≥ 5 kali = 2
(Manuaba, 2005)
|
Ordinal
|
|
Dukungan
Sosial Keluarga
|
Dukungan atau bantuan yang
berasal dari orang memiliki hubungan sosial akrab dengan individu dalam
bentuk keluarga
|
Angket
|
Wawancara
|
Dukungan
sosial keluarga kurang
dengan skor < 7 skore 0
Dukungan
sosial keluarga cukup
dengan skor 8 – 13 skore 1
Dukungan
sosial keluarga baik dengan skor 14 – 20 skore 2
(Nursalam 2003)
|
Ordinal
|
|
Variabel
Dependen
|
|||||
Hiperemesis Gravidarum
|
Keadaan mual dan muntah sering
kedapatan pada kehamilan trimester I
|
Checklist
|
Observasi
|
Jika,
ibu mengalami hiperemesis tingkat III diberikan kode 0
Jika,
ibu mengalami hiperemesis tingkat II diberikan kode 1
Jika,
ibu mengalami hiperemesis Tingkat I diberikan
kode 2
(Sarwono,
2009)
|
Ordinal
|
J.
Hipotesis
Hipotesis
merupakan suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap suatu permasalahan
penelitian sampai terbukti dengan data yang terkumpul. Secara
umum hipotesis terdiri dari Ha ( adanya hubungan variabel independen dengan
variabel dependen ), Ho ( tidak
adanya
hubungan variabel independen dengan variabel dependen). (Arikunto, 2006)
Hipotesis
dalam penelitian ini :
1.
Ada hubungan usia
dengan kejadian hiperemesis gravidarum (HEG) di RSUD Dr. A. Dadi
Tjokrodipo Kota Bandar Lampung tahun 2013.
2.
Ada hubungan paritas dengan kejadian hiperemesis
gravidarum (HEG) di RSUD Dr. A. Dadi Tjokrodipo Kota Bandar Lampung tahun 2013.
3.
Ada hubungan dukungan sosial keluarga dengan kejadian
hiperemesis gravidarum (HEG) di RSUD Dr. A. Dadi Tjokrodipo Kota Bandar Lampung
tahun 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar