Senin, 20 Mei 2013

Tinjauan pustaka II


BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN



A.      Hiperemesis Gravidarum
1.      Pengertian
Hiperemisis gravidarum adalah mual dan muntah berlebih sehingga pekerjaan sehari – hari terganggu dan keadaan umum menjadi buruk, mual dan muntah merupakan gangguan yang paling sering di jumpai pada kehamilan trimester pertama, kurang lebih 6 minggu setelah haid terakhir selama 10 minggu. Sekitar 60 – 80 % Primigravida dan 40 – 60 % multi gravida mengalami mual muntah. Namun gejala ini menjadi lebih berat hanya pada 1 dari 1000 kehamilan. ( Mansjoer, 2007)

Kesimpulan : Dari berbagai pengertian diatas dapat di simpulkan bahwa, hiperemisis gravidarum adalah mual muntah yang berlebih dan gejala yang wajar dan sering kedapatan pada kehamilan trimester pertama.

2.      Etiologi
8
 
Penyebab Hiperemisis gravidarum belum diketahui scara pasti factor predisposisi faktor lain yang telah ditemukan adalah sebagai berikut :

a.       Faktor predisposisi yang sering di temukan adalah primigravida molahidatidosa dan kehamilan ganda yan menimbulkan faktor ganda yang menimbulkan faktor human khorionik. Gonadotropin di bentuk berlebih.
b.      Faktor organik yaitu alergi masuknya khloriosis dalam sirkulasi maternal dan perubahan metabolik akibat hamil serta resistensi yang menurun dari pihak ibu terhadap perubahan ini.
c.       Alergi sebagai salah satu respon dari jaringan ibu terhadap anak.
d.      Faktor psikologi, memegang peran penting pada penyakit ini seperti sosial ekonomi, dukungan keluarga, dan lingkungan.
( Sarwono, 2009)

3.      Patofisiologi
Perasaan mual adalah akibat dari meningkatnya kadar estrogen oleh karena keluhan ini terjadi pada trimester pertama pengaruh psikologik. Hormon estrogen ini tidak jelas mungkin berasal dari sitem syaraf pusat atau akibat dari berkurangnya pengosongan lambung.

Hiperemisis gravidarum yang merupakan komplikasi mual dan muntah pada hamil muda bila terjadi terus menerus dapat menyebabkan dehidrasi dan tidak seimbangnya cairan dan elektrolit dengan alkolosis hipoklomik. Hiperemesis gravidarum ini dapat mengakibatkan cadangan karbohidrat dan lemak habis dipakai untuk keperluan energi karena oksidasi lemak yang tidak sempurna. Terjadilah ketoasidosis dengan tertimbunnya asam aseton asetik, Asam hidrosiburitik dan aseton dalam darah. Kekurangan cairan yang diminum dan kehilangan cairan karena muntah menyebabkan dehidrasi, sehingga cairan ekstra seluler dan plasma berkurang. Natrium dan darah rutin, Juga chloride air kencing berkurang. Selain itu dehidrasi menyebabkan hemokonsentrasi, sehingga aliran darah ke dalam jarigan menurun. Hal ini akan menyebabkan jumlah zat makanan dan oksigen kejaringa mengurang pula dan mmenimbulkan zat – zat metabolik yan toksik. Kekurangan kalium akan terjadi, karena muntah dan karena peningkatan eskresi kalium melalui ginjal. Hipokalemi ini menyebabkan lebih banyak muntah yang bertambah banyak, bersamaan dengan kerusakan hati akan menyebabkan sirculasi vitiosus yang sukar dipatahkan.
Disamping dehidrasi dan terganggunya keseimbangan elektrolit dapat terjadi robekan pada selaput lender esophagus dan lambung dengan akibat perdarahan gastro intestinal. Pada umumnya robekan ini ringan dan perdarahan dapat berhenti sendiri, jarang sampai diperlukan tranfusi atau tindakan operatif. ( Sarwono, 2009)

4.      Manifestasi klinis
Hiperemisis gravidarum menurut berat ringannya gejala dapat dibagi dalam 3 tingkat :
a.       Tingkat I :
1)      Muntah terus menerus
2)      Lemah
3)      Nafsu makan tidak ada
4)      Berat badan turun
5)      Nyeri epigastrium ; nyeri pada lambung bagian atas
6)      Nadi meningkat 100 x / menit
7)      Tekanan darah systole menurun
8)      Turgor kulit berkurang : input berkurang
9)      Lidah kering dan mata cekung
b.      Tingkat II :
1)      Penderita lebih lemah dan apatis
2)      Turgor kulit berkurang
3)      Lidah mongering dan kotor
4)      Nadi kecil dan cepat
5)      Suhu kadang baik
6)      Mata sedikit ikterik
7)      Berat badan menurun dan mata menjadi cekung
8)      Tensi menurun
9)      Hipotensi
10)  Hemokonsentrasi
11)  Oliguri dan konstipasi
12)  Nafas Berbau aseton
c.       Tingkat III :
1.      Kasadaran pasien menurun
2.      Muntah berhenti.
3.      Nadi meningkat
4.      Tekanan darah makin menurun
5.      Kompliksi fatal dapat terjadi anche phalopati werniche dengan gejala histagmus di plopia, perubahan mental.
( Sarwono, 2002)

5.      Penatalaksanaan
a.       Obat obatan sedative Phenobarbital
1)      Vitamin yang dianjurkan B1 dan B6
2)      Antihistamin seperti : dramin, avion
3)      Antiemetika seperti : disklomin hidrokloride / khlor promazin
b.      Isolasi
Penderita disendirikan didalam kamar tenang tetapi cerah dan peredaran udara yang baik, catat cairan yang keluar dan masuk, hanya dokter dan perawat yang boleh masuk ke dalam ruangan., sampai muntah berhenti dan penderita mau makan. Tidak diberikan makanan atau minuman dan selama 24 jam, kadang isolasi gejala – gejala berkurang atau hilanng tanpa pengobatan.
c.       Terapi
Perlu diyakinkan kepada penderita bahwa penyakit ini dapat disembuhkan.
d.      Cairan parenteral
Berikan cairan parenteral yang cukup elektrolit, karbohidrat dan protein dan glukosa 5 % dalam cairan garam fisiologis sebanyak 2 – 3 liter bila perlu ditambah kalium dan vit C dan bila ada kekurangan protein dapat diberikan asam amino secara IV.
e.       Penghentian kehamilan / abortus terapeutik.


B.       Usia
Usia adalah lamanya hidup seseorang sejak dilahirkan yang dinyatakan dengan tahun sampai saat.  Usia ibu saat melahirkan merupakan salah satu faktor resiko kematian perinatal. Dalam kurun waktu reproduksi sehat diketahui bahwa umur aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20 – 35 tahun. (Siregar, 2008)

Pada usia 20 – 35 tahun adalah kondisi terbaik untuk terjadinya kehamilan dan persalinan karena serviks sudah siap dan matang serta biasanya psikologis ibu lebuh siap untuk kehamilan. Tapi pada usia tersebut tidak menutup kemungkinan pada usia tersebut riwayat kehamilan yang lalu dan selama ibu hamil, misalnya kondisi kesehatan ibu yang mungkin lebih banyak terjadi pada usia tersebut salah satunya perdarahan masa hamil dan stress fisik atau mental  yang dapat menjadikan ibu akhirnya bersalin sebelum waktunya. (Siregar, 2008). Usia terlalu muda atau terlalu tua merupakan salah satu faktor resiko terjadinya persalinan kurang bulan. Pada ibu muda atau ibu hamil dengan usia kurang dari 20 tahun merupakan resiko tinggi kehamilan yang dapat mengancam keselamatan ibu bayinya.

Hal ini disebabkan pada ibu muda, perkembangan organ-organ reproduksi dan fungsi fisiologinya belum optimal dan secara psikologi belum tercapainya emosi dan kejiwaan yang matang, sehingga akan mempengaruhi pada penerimaan kesiapan kehamilannya yang akhirnya berdampak pada pemeliharaan dan perkembangan janin yang dikandungnya. (Siregar, 2008).

Sedangkan pada umur ibu hamil dengan umur lebih 35 tahun merupakan resiko tinggi pula untuk hamil karena akan dapat menimbulkan komplikasi kehamilan dan merugikan perkembangan janin selam periode dalam kandungan, hal ini karena ada kemunduran fisiologi dan reproduksinya secara umum. Selain itu ibu yang berusia tua tidak menutup kemungkinan mempunyai riwayat obstetri. (Siregar, 2008).

Dari uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa ibu muda dapat mengalami hiperemesiss disebabkan perkembangan organ-organ reproduksi dan fungsi fisiologinya belum optimal dan secara psikologi belum tercapainya emosi dan kejiwaan yang matang yang mempengaruhi sistem saraf pusat atau pengosongan lambung yang berkurang. Disebabkan meningkatnya kadar hormon estrogen dan HCG dalam serum berpengaruh kepada fisiologik ibu dalam kenaikan hormon hormon estrogen dan HCG.

C.      Paritas
Paritas adalah jumlah bayi hidup yang pernah dilahirkan. Program KB harus dilaksanakan secara intensif untuk menurunkan angka fertilitas dan membudayakan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS). Salah satu pernyataan dalam NKKBS adalah pernyataan tentang jumlah anak yang sebaiknya dimiliki yaitu 2 anak cukup. Laki-laki atau perempuan sama saja. Keluarga kecil dengan dua anak akan memberi dampak positif terhadap masalah kependudukan, perhatian orang tua terhadap anak, sosial ekonomi keluarga dan lain sebainya (Siregar, 2008).
Paritas adalah keadaan wanita berkaitan dengan jumlah anak yang dilahirkan (kamus kedokteran, Ahmad Ramlan, 2005: 220), sedangkan menurut Manuaba (2005) paritas adalah wanita yang pernah melahirkan dan dibagi menjadi berapa istilah :
1.        Primipara yaitu wanita yang telah melahirkan sebanyak satu kali.
2.        Multipara yaitu wanita yang telah pernah melahirkan anak hidup beberapa kali, dimana persalinan tersebut tidak lebih dari lima kali.
3.        Grandemultipara yaitu wanita yang telah melahirkan janin aterm lebih dari lima kali (Manuaba, 2005)

Para primipara penyebab cukup besarnya kejadian hiperemesis terutama pada primipara berumur belasan tahun disebabkan kehamilan pertama merupakan sebuah percobaan berat terhadap kemampuan reproduksi ibu dan psikologis ibu belum tercapainya emosi dan kejiwaan yang matang, dimana meningkatan hormon estrogen dan HCG dalam tubuh sehingga dapat menyebabkan hiperemesiss.

Berdasarkan paritas, institute of Medicine (2000) menyatakan ibu-ibu dengan paritas tinggi (melahirkan lebih dari 3 kali) cenderung mengalami komplikasi dalam kehamilan yang akhirnya berpengaruh pada hasil persalinan terutama juga pada primipara yang berumur belasan tahun. (Pierce, 2002)

Dari uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa hubungan ibu primipara dengan hiperemesis adalah ibu primipara penyebab cukup besarnya kejadian hiperemesis terutama pada primipara berumur belasan tahun disebabkan kehamilan pertama merupakan sebuah percobaan berat terhadap kemampuan reproduksi ibu dan psikologis ibu belum tercapainya emosi dan kejiwaan yang matang, meningkatan hormon estrogen dan HCG dalam tubuh sehingga dapat menyebabkan hiperemesis.

D.      Dukungan Sosial Keluarga
Dukungan sosial keluarga sangat dibutuhkan oleh setiap orang. Menurut Gunarsa (2005), keluarga adalah kelompok sosial yang bersifat abadi, dikukuhkan dalam hubungan nikah yang memberikan pengaruh terhadap keturunan dan lingkungan. Menurut Fadly (2009), Keluarga adalah unit/satuan masyarakat yang terkecil yang sekaligus merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Keluarga biasanya terdiri dari suami, istri, dan juga anak-anak yang selalu menjaga rasa aman dan ketentraman ketika menghadapi segala suka duka hidup dalam eratnya arti ikatan luhur hidup bersama.

Gunarsa & Gunarsa (2005), menyatakan bahwa fungsi keluarga adalah sebagai berikut:
1.      Mendapatkan keturunan dan membesarkan anak 
2.      Memberikan afeksi/kasih sayang, dukungan, dan keakraban 
3.      Mengembangkan kepribadian 
4.      Mengatur pembagian tugas, menanamkan kewajiban, hak, dan tanggung jawab 
5.      Mengajarkan dan meneruskan adat istiadat, kebudayaan, agama, dan sistem moral pada anak

Berdasarkan beberapa literatur diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial keluarga adalah bantuan yang berasal dari keluarga individu yang menerima bantuan. Bentuk bantuan dapat berupa informasi, tingkah laku tertentu, atapun materiil yang dapat menjadikan individu yang menerima bantuan merasa disayangi, diperhatikan, dan bernilai. Dukungan sosial yang berasal dari keluarga merupakan dukungan yang sangat penting artinya bagi para pensiunan. Hal ini dikarenakan keluarga merupakan kumpulan orang-orang yang dapat diandalkan kesinambungan dukungannya di saat seorang pensiunan mulai terpisah dari lingkungan luarnya, seperti dari teman sekerja, rekan bisnis, ataupun orang lainnya di luar keluarga.

Rook (1985, dalam Smet, 2004) mendefinisikan dukungan sosial sebagai salah satu fungsi pertalian sosial yang menggambarkan tingkat dan kualitas umum dari hubungan interpersonal yang akan melindungi individu dari konsekuensi stres. Dukungan sosial yang diterima dapat membuat individu merasa tenang, diperhatikan, timbul rasa percaya diri dan kompeten. Tersedianya dukungan sosial akan membuat individu merasa dicintai, dihargai dan menjadi bagian dari kelompok. Senada dengan pendapat diatas, beberapa ahli Cobb, 1976; Gentry and Kobasa, 1984; Wallston, Alagna and Devellis, 1983; Wills, 1984 : dalam Sarafino, 2003) menyatakan bahwa individu yang memperoleh dukungan sosial akan meyakini individu dicintai, dirawat, dihargai, berharga dan merupakan bagian dari lingkungan sosialnya. Menurut Schwarzer and Leppin, 1990 dalam Smet, 2004; dukungan sosial dapat dilihat sebagai fakta sosial atas dukungan yang sebenarnya terjadi atau diberikan oleh orang lain kepada individu (perceived support) dan sebagai kognisi individu yang mengacu pada persepsi terhadap dukungan yang diterima (received support). (Smet, 2004)

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial keluarga adalah dukungan atau bantuan yang berasal dari orang yang memiliki hubungan sosial akrab dengan individu yang menerima bantuan. Bentuk dukungan ini dapat berupa infomasi, tingkah laku tertentu, ataupun materi yang dapat menjadikan individu yang menerima bantuan merasa disayangi, diperhatikan dan bernilai.

Faktor- faktor yang mempengaruhi dukungan sosial keluarga menurut Stanley (2007), faktor- faktor yang mempengaruhi dukungan sosial keluarga adalah sebagai berikut :
1.      Kebutuhan fisik
Kebutuhan fisik dapat mempengaruhi dukungan sosial. Adapun kebutuhan fisik meliputi sandang, pangan dan papan. Apabila seseorang tidak tercukupi kebutuhan fisiknya maka seseorang tersebut kurang mendapat dukungan sosial.
2.      Kebutuhan sosial
Dengan aktualisasi diri yang baik maka seseorang lebih kenal oleh masyarakat daripada orang yang tidak pernah bersosialisasi di masyarakat. Orang yang mempunyai aktualisasi diri yang baik cenderung selalu ingin mendapatkan pengakuan di dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu pengakuan sangat diperlukan untuk memberikan penghargaan.

3.      Kebutuhan psikis
Dalam kebutuhan psikis pasien pre operasi di dalamnya termasuk rasa ingin tahu, rasa aman, perasaan religius, tidak mungkin terpenuhi tanpa bantuan orang lain. Apalagi jika orang tersebut sedang menghadapi masalah baik ringan maupun berat, maka orang tersebut akan cenderung mencari dukungan sosial dari orang- orang sekitar sehingga dirinya merasa dihargai, diperhatikan dan dicintai. (Stanley, 2007)

Klasifikasi dukungan sosial keluarga menurut Cohen & Syme (2002), mengklasifikasikan dukungan sosial dalam 4 kategori yaitu :
1.      Dukungan informasi, yaitu memberikan penjelasan tentang situasi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi individu. Dukungan ini, meliputi memberikan nasehat, petunjuk, masukan atau penjelasan bagaimana seseorang bersikap.
2.      Dukungan emosional, yang meliputi ekspresi empati misalnya mendengarkan, bersikap terbuka, menunjukkan sikap percaya terhadap apa yang dikeluhkan, mau memahami, ekspresi kasih sayang dan perhatian. Dukungan emosional akan membuat si penerima merasa berharga, nyaman, aman, terjamin, dan disayangi.
3.      Dukungan instrumental adalah bantuan yang diberikan secara langsung, bersifat fasilitas atau materi misalnya menyediakan fasilitas yang diperlukan, meminjamkan uang, memberikan makanan, permainan atau bantuan yang lain.

4.      Dukungan appraisal atau penilaian, dukungan ini bisa terbentuk penilaian yang positif, penguatan (pembenaran) untuk melakukan sesuatu, umpan balik atau menunjukkan perbandingan sosial yang membuka wawasan seseorang yang sedang dalam keadaan stres.

Pendapat Sheridan & Radmacher (2002) menyatakan bahwa dukungan sosial keluarga merupakan transaksi interpersonal yang melibatkan aspek- aspek informasi, perhatian emosi, penilaian dan bantuan instrumental berasal dari keluarga. Ciri- ciri setiap aspek tersebut oleh Smet (2004) dan Taylor (2005), dijelaskan sebagai berikut ;
1.      Informasi dapat berupa saran- saran, nasihat dan petunjuk yang dapat dipergunakan oleh korban dalam mencari jalan keluar untuk pemecahan masalahnya.
2.      Perhatian emosi berupa kehangatan, kepedulian dan dapat empati yang meyakinkan korban, bahwa dirinya diperhatikan orang lain.
3.      Penilaian berupa penghargaan positif, dorongan untuk maju atau persetujuan terhadap gagasan atau perasaan individu lain.
4.      Bantuan instrumental berupa dukungan materi seperti benda atau barang yang dibutuhkan oleh korban dan bantuan finansial untuk biaya pengobatan, pemulihan maupun biaya hidup sehari- hari selama korban belum dapat menolong dirinya sendiri.

Menurut Wangmuba (2009) dukungan sosial keluarga mencakup dukungan informasi berupa saran nasehat, dukungan perhatian atau emosi berupa kehangatan, kepedulian dan empati, dukungan instrumental berupa bantuan meteri atau finansial dan penilaian berupa penghargaan positif terhadap gagasan atau perasaan orang lain.

Menurut House dalam Depkes (2002) yang dikutip oleh Ninuk (2007;29), dukungan sosial diklasifikasikan menjadi 4 jenis yaitu ;
1.      Dukungan emosional
Dukungan ungkapan empati, kepedulian, dan perhatikan terhadap orang bersangkutan.
2.      Dukungan penghargaan
Terjadi lewat ungkapan hormat atau penghargaan positif untuk orang lain itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan perasaan individu dan perbandingan positif orang dengan orang lain misalnya orang itu kurang mampu atau lebih buruk keadaannya atau menambah harga diri.
3.      Dukungan instrumental
Mencakup bantuan langsung misalnya dengan memberi pinjaman uang kepada orang yang membutuhkan atau menolong dengan memberi pekerjaan pada orang yang tidak punya pekerjaan.
4.      Dukungan informatif
Mencakup pemberian nasihat, saran, pengetahuan, informasi serta petunjuk.

Menurut Sheridan dan Radmacher (2002), Sarafino (2002) serta Taylor (2005); membagi dukungan sosial keluarga kedalam 5 bentuk, yaitu
1.      Dukungan instrumental (tangible or instrumental support)
Bentuk dukungan ini merupakan penyediaan materi yang dapat memberikan pertolongan langsung seperti pinjaman uang, pemberian barang, makanan serta pelayanan. Bentuk dukungan ini dapat mengurangi kecemasan karena individu dapat langsung memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi. Dukungan instrumental sangat diperlukan dalam mengatasi masalah yang dianggap dapat dikontrol.
2.      Dukungan informasional (informational support)
Bentuk dukungan ini melibatkan pemberian informasi, pengetahuan, petunjuk, saran atau umpan balik tentang situasi dan kondisi individu. Jenis informasi seperti ini dapat menolong individu untuk mengenali dan mengatasi masalah dengan lebih mudah.
3.      Dukungan emosional (emotional support)
Bentuk dukungan ini melibatkan rasa empati, ada yang selalu mendampingi, adanya suasanya kehangatan, dan rasa diperhatikan akan membuat individu memiliki perasaan nyaman, yakin, diperdulikan dan dicintai oleh sumber dukungan sosial sehingga individu dapat menghadapi masalah dengan lebih baik. Dukungan ini sangat penting dalam menghadapi keadaan yang dianggap tidak dapat dikontrol.
4.      Dukungan pada harga diri (esteem support)
Bentuk dukungan ini berupa penghargaan positif pada individu, pemberian semangat, persetujuan pada pendapat individu dan perbandingan yang positif dengan individu lain. Bentuk dukungan ini membantu individu dalam membangun harga diri dan kompetensi.


5.      Dukungan dari kelompok sosial (network support)
Bentuk dukungan ini akan membuat individu merasa menjadi anggota dari suatu kelompok yang memiliki kesamaan minat dan aktivitas sosial dengan kelompok. Dengan begitu individu akan memiliki perasaan senasib.

Bentuk dukungan sosial keluarga menurut Kaplan and Saddock (1998), adapun bentuk dukungan sosial keluarga adalah sebagai berikut ;
1.      Tindakan atau perbuatan
Bentuk nyata dukungan sosial berupa tindakan yang diberikan oleh orang disekitar pasien, baik dari keluarga, teman dan masyarakat.
2.      Aktivitas religius atau fisik
Semakin bertambahnya usia maka perasaan religiusnya semakin tinggi. Oleh karena itu aktivitas religius dapat diberikan untuk mendekatkan diri pada Tuhan .
3.      Interaksi atau bertukar pendapat
Dukungan sosial dapat dilakukan dengan interaksi antara pasien dengan orang- orang terdekat atau di sekitarnya, diharapkan dengan berinteraksi dapat memberikan masukan sehingga merasa diperhatikan oleh orang.

Dukungan sosial merupakan bantuan atau dukungan yang diterima individu dari orang- orang tertentu dalam kehidupannya. Diharapkan dengan adanya dukungan sosial maka seseorang akan merasa diperhatikan, dihargai dan dicintai. Dengan pemberian dukungan sosial yang bermakna maka seseorang akan mengatasi rasa cemasnya terhadap pembedahan yang akan dijalaninya (Suhita, 2005).
Kategori dukungan sosial menurut Nursalam (2008), dukungan sosial keluarga dikategorikan menjadi ;
1.      Dukungan sosial keluarga kurang dengan skor < 7
2.      Dukungan  sosial keluarga cukup dengan skor 8 – 13
3.      Dukungan  sosial keluarga baik dengan skor 14 – 20

E.       Penelitian Terkait

Menurut Calvina, (2012) Rumah Sakit Umum Pringsewu Kabupaten Pringsewu didapatkan distribusi frekuensi penderita hiperemesis gravidarum berdasarkan usia penderita hiperemesis gravidarum yang diteliti pada penelitian ini mempunyai usia berkisar dalam rentang 20 tahun sampai 35 tahun, paling banyak terdapat pada rentang umur 26 tahun – 30 tahun sebanyak 34 orang (45%), kemudian rentang umur 20 tahun – 25 tahun sebanyak 27 orang (36%), dan yang terakhir pada rentang umur 31 tahun – 35 tahun sebanyak 14 orang (19%).

Mempunyai pengaruh yang erat dengan perkembangan alat reproduksi. Hal ini berkaitan dengan keadaan fisik organ tubuh ibu dalam menerima kehadiran dan mendukung perkembangan janin. Umur juga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap persalinan dan kehamilan. Umur yang terlalu mudamerupakan suatu faktor resiko terjadinya hiperemesis gravidarum. Hal ini terutama terjadi pada wanita hamil yang berusia dibawah umur 30 tahun (Wilcox et al.,2009). Pada penelitian ini didapatkan hiperemesis gravidarum lebih sering mengenai ibu hamil pada rentang umur 26 tahun – 30 tahun, kemudian diikuti oleh umur 20 tahun – 25 tahun, dan umur 31 tahun – 35 tahun. Keadaan ini diduga terkait dengan faktor-faktor lain seperti faktor keturunan, stress, berat badan yang rendah pada masa kehamilan dan riwayat mengalami hiperemesis gravidarum pada 29 kehamilan sebelumnya. Pada ibu hamil yang berusia muda, stress merupakan faktor yang paling sering dikaitkan dengan hiperemesis gravidarum dimana hal ini dapat memicu terjadinya mual dan muntah (Buckwalter dan Simpson, 2002). Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan menunjukan hasil yang sesuai dengan penelitian ini, bahwa hiperemesis gravidarum lebih sering terjadi pada wanita hamil yang berusia dibawah 30 tahun (Goodwin, 2008). Namun tidak disebutkan secara spesifik mengenai umur dibawah 30 tahun tersebut.

Menurut Calvina, (2012) adalah penderita hiperemesis gravidarum pada penelitian di Rumah Sakit Umum Pringsewu Kabupaten Pringsewu didapatkan dikelompokan menjadi 2 bagian berdasarkan status kehamilan yaitu primigravida dan multigravida. Hasil penelitian menunjukan bahwa penderita hiperemesis gravidarum dengan status kehamilan primigravida sebanyak 51 orang (68%) dan multigravida sebanyak 24 orang (32%).

Kehamilan primigravida adalah wanita yang baru pertama kali mengalami kehamilansedangkan multigravida adalah wanita yang sudah pernah mengalami kehamilan sebanyak 2 kali atau lebih (Prawirohardjo, 2002). Faktor resiko yang paling seringditemukan pada penderita hiperemesis gravidarum adalah primigravida. Penelitian yang pernah dilakukan menunjukan bahwa 60% - 80% primigravida mengalami 30 hiperemesis gravidarum dan 40% - 60% mutigravida mengalami hiperemesis gravidarum. Hal ini berhubungan dengan tingkat stres dan usia ibu hamil saat mengahadapi kehamilan pertama. Pada Primigravida, faktor psikologik memegang peranan penting terhadap terjadinya hiperemesis gravidarum. Rasa takut terhadap kehamilan dan persalinan, serta takut terhadap tanggung jawab menjadi seorang ibu dapat menyebabkan terjadinya konflik mental yang akan memperberat mual dan muntah sebagai ekspresi keengganan menjadi hamil atau sebagai pelarian dari kesukaran hidup. Multigravida yang mengalami hiperemesis gravidarum biasanya terkait dengan riwayat kehamilan pertama, kurangnya pengalaman pada kehamilan pertama dan tingkat stres yang tinggi pada saat menghadapi kehamilan sehingga menimbulkan resiko terjadinya hiperemesis gravidarum (Prawirohardjo, 2005). Hiperemesis gravidarum lebih sering terjadi pada primigravida (68%) dari pada multigravida (32%). Karena pada primigravida belum mampu beradaptasi terhadap peningkatan hormon estrogen dan khorionik gonadotropin. Peningkatan hormon ini membuat kadar asam lambung meningkat sehingga muncul keluhan rasamual. Keluhan ini biasanya muncul di pagi hari saat perut penderita dalam keadaan kosong dan terjadi peningkatan asam lambung (Ogunyemi dan Fong, 2009). Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan Buckwalter dan Simpson(2002) menunjukan hasil yang sesuai dengan penelitian ini yaitu primigravida lebih sering mengalami hiperemesis gravidarum. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Prawirohardjo (2005) bahwa primigravida lebih sering mengalami hiperemesis gravidarum dari pada multigravida dengan persentase sebesar 60% - 80%.

Menurut Ratna, (2011) Rumah Sakit Islam Bandung didapatkan dengan teknik analisis regresi sederhana. Dari analisis data diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 0,836 dengan p = 0,00 (p<0,05). Angka tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara variabel dukungan keluarga dengan kejadian hiperemesis. Sumbangan efektif dukungan keluarga terhadap pasien hiperemesis di rumah sakit dalam kategori baik sebesar 49,5 % , efektif dukungan keluarga kategori cukup baik memberi pengaruh sebesar 30,1 %, dan efektif dukungan keluarga kategori cukup baik sebesar 20,4 %.

F.       Kerangka Teori

Kerangka teori adalah ringkasan dan tinjauan pustaka yang digunakan yang digunakan untuk mengidetifikasi variabel yang akan diteliti yang berkaiatan dengan konteks ilmu pengetahuan yang digunakan untuk mengembangkan kerangka konsep penelitian ( Notoatmodjo, 2005)
Gambar 1. Kerangka Teori


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

( Sarwono, 2009)
G.      Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian menurut Notoadmodjo (2005) adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang akan diamati atau diukur melalui penelitian – penelitian yang akan dilakukan.
1.      Usia
2.      Paritas
3.      Dukungan Sosial Keluarga
 
HIPEREMESISS GRAVIDARUM

 
          Independen                                                           Dependen

 




H.      Variabel Penelitian
Variabel adalah suatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang sesuatu konsep pengertian tertentu. (Notoadmojo, 2005). Variabel independen adalah usia, paritas, dan dukungan sosial keluarga. Variabel dependen adalah variabel yang terkait atau variabel yang dipengaruhi oleh variabel independen dalam pengertian ini variabel dependen adalah hiperemesiss gravidarum.

I.         Definisi Operasional
Definisi operasional menurut Notoatmodjo adalah batasan pada variabel – variabel yang diamati atau diteliti yang bermanfaat mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrument. Adapun definisi penelitian dalam penelitian ini adalah


Tabel 1. Definisi Operasional Variabel

Variabel
Definisi operasional
Alat ukur
Cara ukur
Hasil ukur
Skala
Variabel Independent
Usia

Merupakan lamanya hidup ibu sejak dilahirkan yang dinyatakan dengan tahun saat tercatat di rumah sakit
Checklist
Observasi
 < 20 tahun = 0

20 – 35 tahun = 1

>  35  tahun = 2


(Siregar, 2008)
Nominal
Paritas


Keadaan wanita yang terkait dengan jumlah anank yang dilahirkan oleh ibu yang tercatat pada rekam medik
Checklist
Observasi
Jika primipara ≤ 1kali = 0

Jika multipara 2 -  4 kali = 1

Jika grandemultipara  ≥ 5 kali = 2
(Manuaba, 2005)
Ordinal
Dukungan Sosial Keluarga

Dukungan atau bantuan yang berasal dari orang memiliki hubungan sosial akrab dengan individu dalam bentuk keluarga
Angket
Wawancara
Dukungan sosial keluarga kurang dengan skor < 7 skore 0

Dukungan  sosial keluarga cukup dengan skor 8  – 13 skore 1

Dukungan  sosial keluarga baik dengan skor 14  – 20 skore 2
(Nursalam 2003)
Ordinal








Variabel Dependen
Hiperemesis Gravidarum
Keadaan mual dan muntah sering kedapatan pada kehamilan trimester I
Checklist
Observasi
Jika, ibu mengalami hiperemesis tingkat III diberikan  kode  0

Jika, ibu mengalami hiperemesis tingkat II diberikan  kode  1

Jika, ibu mengalami hiperemesis Tingkat I diberikan  kode 2

(Sarwono, 2009)
Ordinal

J.        Hipotesis
Hipotesis merupakan suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap suatu permasalahan penelitian sampai terbukti dengan data yang terkumpul.  Secara umum hipotesis terdiri dari Ha ( adanya hubungan variabel independen dengan variabel dependen ), Ho ( tidak adanya hubungan variabel independen dengan variabel dependen). (Arikunto, 2006)
Hipotesis dalam penelitian ini :
1.      Ada hubungan usia  dengan kejadian hiperemesis gravidarum (HEG) di RSUD Dr. A. Dadi Tjokrodipo Kota Bandar Lampung tahun 2013.
2.      Ada hubungan paritas dengan kejadian hiperemesis gravidarum (HEG) di RSUD Dr. A. Dadi Tjokrodipo Kota Bandar Lampung tahun 2013.
3.      Ada hubungan dukungan sosial keluarga dengan kejadian hiperemesis gravidarum (HEG) di RSUD Dr. A. Dadi Tjokrodipo Kota Bandar Lampung tahun 2013.

Tidak ada komentar: